"Lama banget gak ketemu kalian! Terakhir pas Jems keracunan ya??" tanya Euis bersemangat. Nonik dan Merdi mengangguk serta tersenyum penuh arti. Aku merinding
Soda kue sialan.
"Eh kok lu cantik banget sih? Abis dari mana?" tanya Nonik tanpa ba bi bu. Aku meliriknya dengan tatapan yang berkata 'berisik lu'.
"Tadi abis ada acara di kampus, ya gitu deh. Hehehe."
Saat Merdi ingin menyusul bertanya, aku langsung membuka kotak sulingku.
"Sok mau kamu bawa yang mana?"
Euis melihat semua sulingku tanpa menyentuhnya. Katanya ia ingin membawa satu suling ke Australia. Alasannya ingin mencoba mengenalkan alat musik tiup Indonesia. Tapi sepertinya itu hanya alasan yang dibuatnya barusan karena ada Nonik dan Merdi.
"Tuh yang itu aja Is!" Merdi menunjuk tarompet silatku.
"Hese ditiupna eta mah, geblek!" (susah ditiupnya itu mah, geblek!) omelku pada Merdi. Tarompet silat harus ditiup dengan posisi bibir khusus dan menggunakan teknik tiup sirkuler dimana udara harus terus ditiupkan walau sedang mengambil nafas. Aku ingat dulu terus menerus meniup pipa di ember berisi air demi menguasai teknik sirkuler.
"Pan dipresentasikan baen lain ditiup!" (kan dipresentasiin doang bukan ditiup!) Merdi yang terlalu banyak berteman denganku membalas dengan bahasa Sunda.
"Ih asa era ah teu tiasa nyarios Sunda" (ih malu ah gak bisa ngomong Sunda) timpal Euis sambil tertawa kecil.
"Lu semua ngomong apa sih?" lalu ada Nonik yang benar-benar tidak mengerti apa yang kami bicarakan.
"Kalo gak bawa ini aja."
Aku mengambil suling 56 dengan 7 lubang dan suling degung 4 lubang spesialku, yang hanya kupakai saat pentas-pentas besar. Keduanya dibuat dari bambu pilihan yang ditebang di atas jam 12 siang, dengan grip jari yang nyaman, serta terdapat ukiran namaku dalam aksara sunda. Pesanan khusus yang membuatku merogoh kocek hingga dua ratus lima puluh ribu rupiah.
"Ini kan suling kamu yang serba paling-paling Jeemmss??!!" seloroh Euis sambil mengernyitkan alisnya.
"Santai, kan masih ada yang lain."
"Udah bawa aja Is."
"Iya bawa aja, Jalanidhi sulingnya banyak kok."
Ingin sekali aku berkata 'berisik kalian', tapi aku memilih jaim di depan Euis.
"Gak papah nih......?" aku tersenyum, memasukkan kedua suling itu ke dalam softcase kecil dan memberikannya ke Euis.
"Aww!" Merdi memukul cepat tangan Nonik yang langsung kupelototi. Kami semua mendapat tatapan bingung dari Euis.
"Anyway Jems, Euis, gua sama Nonik duluan ya. Takut macet. Hehe."
takut macet atau takut apa, Ubur-ubur Listrik dasar.
"Iya, salam buat ibu lu sama Atari ya. Gua tau pintu ada dimana kok." Nonik dan Merdi mengajakku dan Euis tos, lalu dengan kompak keluar rumahku sambil melambaikan tangan.
Bagai peserta reality show yang tereliminasi.
"Eh iya, Euis safe flight ya." kata Nonik cepat lalu menutup pintu rumahku.
"ASTAGA!!" jeritku saat ada yang mencubit perut sampingku.
"Kamu cerita-cerita yaaaa??!!!!"
Aku hanya menyeringai, bangkit berdiri lalu menuju kamar Atari. Kubuka pintu kamarnya, menemukan Atari masih lelap dalam tidurnya. Aman. Ibu biasa sampai rumah pukul 7 malam atau lebih. Masih cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
General FictionAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...