33. Diam

5.3K 522 50
                                    

Sepertinya tadi alarm sudah kumatikan, tapi ponselku masih bergetar. Ah itu lebih mirip nada dering ponselku. Tanda panggilan masuk. Nomor asing, was-was juga rasanya saat ingin menekan tombol accept.

"Halo.....?"

"Hai Jala! Udah bangun kan? Nanti aku ikut dari perempatan Pejaten ya. Kita bareng ke tempatnya. Lewat Kuningan lebih deket, terus..."

"Mira?!" potongku ketika menyadari siapa yang menelepon.

"Kamu gak save nomor aku?? Jahaaatt!!!" suara di seberang terdengar sangat merengek.

Gua matiin aja kali ya telponnya...

"Dapet nomor gua dari mana?" tegasku singkat.

"Ih kok gua-elo sih?? Iihh, pokoknya setengah jam lagi di perempatan Pejaten ya!" nada bicaranya dibuat semanja mungkin. Malah jadi kesal aku dibuatnya.

"Dipikir gua naik naga setengah jam udah sampe sana?" aku menyampirkan totopong pemberian ayah Euis ke leherku. Lalu berjalan ke ruang tamu. Ada ibu yang sudah bersiap-siap pergi kerja.

"Kan naik motor cepet Jal! Aku udah bawa helm kok!"

"Penari bukannya kudu dandan duluan dah?!" aku mulai kesal.

"Dandan aku cepet kok. Pokoknya setengah jam lagi. Oke? Bye!" telepon dimatikan. Aku menghela nafas.

"Udah mau berangkat Ga?" tanya ibu. Aku mengangguk.

"Ibu aku anter sampe depan ya sekalian aku jalan?" kataku sambil memakai jaket.

"Boleh. Adekmu tadi udah dianter om Wahyu." ibu menyebutkan sepupunya yang tinggal di dekat rumah kami. Yang dengan senang hati mengantar jemput Atari karena belum dikaruniai anak sampai 5 tahun pernikahannya dengan tante Lisa.

"Yaudah ayo bu, nanti ibu telat."

Ibu mengikutiku lalu naik ke atas motor. Di jalan aku berpikir bagaimana caranya aku harus menghindari banyak berbicara dengan Mira nanti. Karena tidak mungkin juga aku meninggalkannya begitu saja seperti niatanku tadi. Bisa-bisa aku ditendang mang Indoy karena menelantarkan penarinya. Ah, sulit.

"Kamu lagi banyak pikiran?" tanya ibu sambil turun dari motor.

"Biasa bu, job dari kang Yoyo aneh-aneh."

"Ya disyukuri aja. Hati-hati ya nak." aku mencium tangan ibu, lalu membayangi ibu sampai ibu menaiki metromini. Kadang aku sangat ingin meminta ibu untuk tidak usah bekerja lagi. Membuka warung makan kecil-kecilan di rumah pun pasti laku juga.

Aku menghela nafas. Euis belum berkabar. Katanya wifi di asrama cukup kencang, tapi karena tembok kamarnya tebal bagai barak anti kerusuhan, jadi ya sama saja seperti tidak ada wifi. Aku bilang tenang saja, yang penting jangan lupa untuk mengabari ayah ibunya juga. Aku bisa menunggu.

Kuambil ponselku, mencari kontak Nonik dan menelponnya. Tiga kali nada tunggu berbunyi dan kemudian terdengar suara paraunya dari seberang. Pasti baru bangun tidur.

"Halo...?"

"Non, kalo ada cewe kegatelan yang agresif banget pengen deket-deket sama gua, gua mesti gimana?" kataku langsung tanpa mukadimah terlebih dahulu.

"Hah? Astaga Jems! Baru berapa hari ditinggal Euis tau-tau udah jadi magnet cewe lagi lo!"

"Elah Non kan bukan mau gua juga itu mah!" aku mengetuk-ngetuk stang motorku.

"Oke oke, cewe mana lagi nih?"

"Penari di tempat gua dapet job."

"Agresif banget banget ya pasti? Sampe lo nelpon gua?" Nonik memang pengertian.

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang