Rasanya aku baru terlelap sebentar. Tapi rupanya getar ponsel lebih ampuh daripada teriakan ibu tiap membangunkanku.
"Hmmm.." mataku masih terpejam tapi tanganku sudah bergerak sendiri mencari ponselku. Kadang aku berpikir kalau tanganku ini memiliki pikiran dan kendali sendiri di luar kendali otak.
Mataku masih terasa sepat saat aku berusaha membaca sms yang masuk. Sial. Masih berbayang-bayang. Kukucek mataku sekali, sudah lebih jelas. Tapi pandanganku rasanya semakin kabur setelah membaca isi sms itu. Euis..
+61 9675
Aku pulang tanggal 17. Abis itu kita janjian ketemu ya
"Ya ilah....." keluhku saat melihat jam masih menunjukkan pukul 5 pagi lewat sedikit. Masuk akal juga sebetulnya karena di sana pasti sudah jam 9. Masalahnya aku baru bisa tidur sekitar jam 4 subuh.
Ah, ini tanggal berapa? 14? Tiga hari lagi berarti.
Tidak kubalasi sms Euis. Bukan bermaksud membuatnya merasakan apa yang kurasakan, tapi aku memang tidak ingin membalas. Dan sewajarnya aku senang mendapat kabar itu. Tapi nyatanya tidak. Perutku bergemerucuk dengan tempo cepat.
Oke, perutku minta diisi. Aku keluar kamar, melihat apa yang bisa kumakan di dapur. Tidak ada. Bahan makanan? Ada. Oke, masak. Daripada lapar.
"Jems? Udah bangun?" Raya masuk ke dapur, masih dengan wajah kusut dan baju tidurnya.
"Baru tidur satu jam malah."
"Jadi yang ribut trang treng trang treng itu elu?" ia membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin dan menuangnya di gelas.
"Gua main pokemon tapi gak pake suara ya. Itu kostan tetangga kali, lagi pada nge-PES." kataku sambil memasukkan nasi ke penggorengan. "Mau?"
"Nasi goreng? Sekalian deh." Raya memejamkan mata lagi, menyender pada kursi. Sambil mengambil nasi tambahan kalender memori di otakku berteriak. Menandakan adanya tabrakan jadwal. Semacam KRS-ku kalau ada jadwal yang bertabrakan pasti berwarna merah.
Bukan. Bukan kepulangan Euis yang kunanti-nantikan itu. Sepertinya ada yang harus kulakukan di tanggal itu. Tapi kenapa sampai terlupa. Ah nanti saja lah.
"Lu gak ngantuk apa Jems?" tanya Raya yang sudah kembali terjaga, masih dengan muka bantal tentunya. Aku menggeser sepiring nasi goreng untuknya.
"Ya ngantuk lah..."
"Orang kaya lu harusnya punya pacar Jems." kalau pernah melihat botol plastik yang melenyot lalu meleleh karena terkena api, begitu lah perasaanku sekarang.
"Biar apa?" tanyaku pura-pura bodoh.
"Biar ada yang ngingetin tidur, ada yang ngingetin makan, ada yang merhatiin. Mana lu sekarang kurus." bisa-bisanya Raya mengatakan itu semua dengan santai, sambil menyendok nasi gorengnya, tanpa memikirkan perasaanku.
Semesta, masih jam 5 pagi dan pertandamu akan sesuatu sudah kau selipkan lewat Raya?
"Ya, nasinya enak?" Raya menatapku sambil mengernyitkan dahi.
"Enak kok. Kenapa?" aku menyeringai. Padahal aku tidak merasa makananku enak lagi, karena kata-kata Raya yang mengiris-iris hatiku.
"Nanti pas studi banding lu masak lah Jems. Lumayan kita gak usah jajan-jajan entar." sambung Raya, menuang air dingin ke gelas. Kebiasaannya.
Ah tunggu.
Studi banding?
"Studi.....banding...?"
Tahu-tahu wujud pak Oji yang sedang berbicara menggunakan mic di dalam auditorium muncul di benakku.
"4 hari ke depan kita studi banding ke kampus dan sekolah seni lain yang ada di Bandung, Yogyakarta, dan Solo. Berangkat tanggal 15 pukul 04.00 pagi. Bla bla bla."
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
General FictionAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...