"Terus lu berdua ngapain lagi??" tanya Nonik bersemangat.
Jelas, karena sedang mendengar gosip terbaru.
"Yaudah gitu doang."
"Gitu doangnya yang kaya gimana nih? Lu kan aslinya cupu Jems, tampang doang kaya preman!" ujar Nonik sambil beranjak pergi ke pintu, melihat siapa yang mengetuknya.
Ada suara pintu dibuka, tapi tidak ada suara lain yang terdengar setelahnya. Bahkan suara langkah. Aku memanjangkan leher, ingin melihat siapa yang datang karena aku yakin Nonik tak bergeming.
"Non, kenape?" panggilku. Aku mulai melihat ada bayangan lain yang berdiri di depannya. "Non?" Aku beranjak menghampiri Nonik, menemukannya sedang berdiri kaku. Begitu pula orang yang berdiri di depannya.
Merdi.
"J-Jems...?" Merdi malah memanggilku, bukannya menyapa si empunya rumah.
"Masuk dulu dah!" dengan paksa kutarik mereka berdua. Karena kalau kubiarkan, aku yakin hingga tahun depan pun mereka masih hanya akan jadi ganjalan pintu.
"Berasa rumah lu." Nonik sudah normal lagi, tapi suaranya melirih.
"Sapa suruh diem-dieman!" tukasku. Lagi-lagi dengan paksa kududukkan mereka berdua di sofa. Merdi kelihatan sangat bingung dan cemas. Ia menatapku dan Nonik bergantian.
Oke.
Suasana menjadi tegang bin canggung.
Setelah ini bukan porsiku lagi untuk mengurus mereka berdua.
"Lu berdua kayanya butuh ruang pribadi, gua pergi dulu deh."
"Jangan!" Nonik tak sedikit pun terlihat benar-benar ingin mencegahku yang sudah hampir mendekati pintu.
"Jems!"
Langsung kuhentikan langkahku. Merdi yang terlihat paling 'panik'. Aku tahu alasannya.
"Iya gua tau Mer, tenang aja. Selow. Lu itu udah kaya saudara gua." aku mengeksekusi apa yang ada di pikiran Merdi. Matanya menunjukkan keterkejutan.
"Lu mau kemana Jems......?" volume suara Nonik akhirnya mulai normal.
"Bikin kopi di dapur lo. Kagak lah, gua balik dulu jemput adek gua!"
"Ehm...." gumam Merdi, canggung.
"Gini dah, lu berdua ngobrol baik-baik gih ya. Gua tau lu tiap latian masih suka baca chat-chatnya Nonik. Gua juga tau lu balik lagi ke TPA buat ambil kardus lu. Kalo udah selesai ngobrolnya, makan bareng dah. Minum kopi juga biar enak!" celotehan terpanjangku setelah kecanggungan beberapa menit tadi. Masih saja dua mahluk itu melihatku tanpa berkata-kata dengan tatapan nanar.
Konyol sebenarnya melihat dua temanku seperti itu.
"Dah ya gua jalan dulu."
Masih juga tak ada suara. Di depan pintu aku berhenti. Menarik nafas, membuka kaca helm dan membalikkan badan ke arah dua raga yang aku takut lama-lama akan menggantikan posisi batu Malin Kundang.
"Mer?"
"I..iya Jems?"
"Lu inget Euis?"
"Ehm...ya?"
"Gak penting sih sebenernya, tapi kalo lu mau tau, itu pacar gua. Ngobrol bertiganya nanti ya. Sok atuh geura mulai ngobrol."
Aku melangkahkan kaki keluar dari rumah Nonik. Sedikitnya tertawa karena provokasi ngawur sok asik dan sok kerenku tadi. Kulajukan motorku menuju sekolahan adikku, Atari. Berharap mendapat kabar baik entah dari Merdi atau Nonik ketika aku sudah selesai menjemput Atari nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Narrativa generaleAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...