36. Pusing

5K 515 20
                                    

Ponsel bergetar terus dari tadi. Aku yang sedang meniup suling tidak mungkin mengeluarkan ponsel dari kantong. Bisa-bisa aku dilempari sandal oleh pak Made. Ah, ayo konsentrasi. Tapi kenapa suling Bali harus sirkuler sih, kenapa harus main di sepanjang lagu sih.

Nyawaku terbang entah kemana rasanya. Sedari tadi aku memang tidak konsentrasi. Pak Made memberi catatan pun tidak kudengar dengan baik. Makin banyak hal aneh di hidupku.

Mira yang semakin agresif hingga membuatku risih.

Cici yang rupanya sedang menjadi maba di kampus yang tak jauh dari kampusku.

Euis yang masih tidak berkabar, sudah tiga hari ia tidak membalas chat-chatku.

Teman-temanku yang semakin gencar menanyai apakah pak Oji sudah memanggilku atau belum.

Yah, setidaknya hidupku tidak datar-datar amat. Aku melirik Yudo spesialisasi alat musik pukul yang sedang dititah sebagai pemain suling oleh pak Made bersama denganku dan 3 orang lainnya. Ia kesulitan mengambil nafas di tengah-tengah permainan. Beberapa kali ia bergerak kikuk karena gugup takut ketahuan pak Made. Sedangkan ketiga temanku yang lain terlihat santai walau sirkuler mereka belom lancar.

"Jale kamu jangan lupa ajari teman-temanmu sirkuler, sakit kuping saya sulingnya masih kurang enak!" pesan pak Made saat aku akan meninggalkan kelas. Namaku dibaca dengan aksen Bali dimana huruf 'a' yang ada di belakang dibaca sebagai 'e' seperti pada 'pedang'. Aku menyeringai dan mengiyakan.

Ah iya, ponselku.

+62 880998xxxx
Jalanidhi.

Bisa ke ruangan saya nanti pukul 13.00?

Saya tunggu, trims.

WA dari pak Oji yang sudah terkirim sejak tadi baru kubaca. Mampus ada apaan nih. Rutukku tak karuan.

Jems
Siap pak saya meluncur sekarang.

Jam sudah menunjukkan pukul 12.54. Buru-buru aku ke gedung program studi untuk menemui pak Oji. Padahal aku kelaparan. Teknik sirkulerku yang sebetulnya masih belum bagus justru membuatku lapar.

"Permisi pak...." aku membuka pintu setelah sebelumnya kuketuk pelan. Pintu yang terbuka mengantarku memasuki ruangan yang dipenuhi dengan nuansa cindhe abang, motif kain khas Jogja. Tirai jendela, tirai lemari, sarung bantal, hingga taplak meja bermotif cindhe abang.

Kepala prodiku ini masih ningrat kraton Yogyakarta. Makanya ruangannya dipenuhi motif cindhe abang. Kalau ada acara besar di kampus juga pak Oji pasti memakai surjan kembang, bebet motif kasatrian, blangkon dengan mondholan, lengkap dengan keris gayaman gaya Yogyakarta. Sampai sekarang pun aku masih susah melafalkan nama lengkap beliau karena sangat panjang.

"Masuk-masuk, ayo duduk." pak Oji tidak mengalihkan pandangan dari kertas-kertas yang sedang dibacanya. Entah apa.

Aku duduk di kursi di depan mejanya. Bahkan aku benar-benar tidak tahu kenapa aku ada di sini sekarang. Menduduki kursi yang sudah mulai goyang salah satu rodanya, menghirup wangi bunga melati yang beterbangan di seluruh ruangan, secara pemandangan rasanya mataku dipedaskan karena warna merah mendominasi di dalam ruangan.

"Kamu udah tau kan kenapa saya panggil?" aku menggeleng pelan.

"Belum pak."

"Ah kamu ini, orang udah banyak yang ngomongin kok." pak Oji dengan kumis tebalnya sekarang menatapku tajam.

"Pak, kalo soal pemukul bonang yang saya patahin waktu itu udah saya ganti pak. Kemaren saya bawain gantinya." aku mengakui dosaku yang hanya diketahui oleh Tito dan Sisil yang waktu itu bersamaku. Waktu itu pemukul bonang kujadikan pemukul kendang, tahunya di tengah permainan pemukulnya patah karena memang tidak didesain untuk dijadikan pemukul kendang.

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang