Entah berapa lama aku tertidur. Yang jelas Nonik sedang sibuk dengan handphonenya ketika aku bangun.
"Euis mana?" aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan.
"Lu kok gak nyariin gua sih, sedih deh." sahut Nonik sambil berpura-pura sedih, terlihat dalam ekspresinya. "Lagi keluar sama Merdi." sambungnya cepat setelah melihat tatapan mematikanku.
"Merdi? Berarti yang lain juga kesini dong?" gadis berambut ikal sebahu itu menggeleng.
"No, just Merdi" aku mengangkat satu alisku.
Aku bangkit dari tempat tidur, meregangkan tubuh karena selama beberapa puluh jam terakhir aku jarang meninggalkan tempat tidurku. Tadi Nonik bilang apa? Euis sedang pergi keluar bersama Merdi? Membeli sesuatu kah?
Sebaiknya segera kuchat Euis, memberitahukan kalau aku sudah merasa lebih baik. Tapi aneh juga setelah kupikir-pikir, karena Merdi datang tanpa teman-temanku yang lain. Bahkan teman sekostanku yang lain sedang pergi menginap ke Kepulauan Seribu sejak kemarin.
"Euis ngomongin lu mulu anyway."
"Ya atuh mau ngomongin apa lagi coba?" kataku sambil memutar kedua tanganku.
"Cieeeeeeee!" ledek Nonik panjang dengan wajah meledek.
"Keheedddd!" kulempari ia dengan bantal. Tepat kena di wajahnya. Aku puas.
"Seriously, she never stop talking about you!" Nonik melempar bantalku ke atas kasur. Aku duduk di sebelahnya.
"And she was talking about....?"
"Cieeee kepoooo, hahahahaha!" Nonik malah mentertawaiku.
"Dih iya gua kepo, puas?!" tawa Nonik semakin menjadi.
"Ahahaha, dia bilang lu orang paling berbakat yang pernah dia temuin. Pokoknya dia ngomongin lu mulu dah! Hahaha."
"Jelasin ke gua gimana gua bisa ngerti semua yang dia omongin kalo lu aja cuma jelasin segitu." kataku datar, memancing tawa Nonik lagi.
"Wahahahahaha." telingaku menangkap suara motor yang diparkir. Suara motorku.
Aku keluar kamar dan keluar kostan. Menemukan Merdi yang sedang melepas helmnya dan Euis dengan bungkusan di tangannya.
"Eh Ubur-Ubur Listrik, dapet kunci motor gua dari mana?" tanyaku, disambut cengiran Merdi yang memperlihatkan gigi gingsulnya.
"Dikasih Nonik...."
"Jems udah sembuh??! Kok jalan-jalan???" potong Euis yang menghampiriku dengan segera.
"Udah bisa ngomel-ngomel berarti udah sembuh Is." kata Merdi, menyeringai lagi.
"Gak boleh ngomel-ngomel dulu ah! Masuk-masuk!" Euis mendorongku sampai masuk ke kamar. Merdi mengikuti dari belakang.
"Serius atuh Euis, udah mendingan ini teh.." aku berusaha meyakinkan Euis. Ia menatapku masih tidak percaya. Dan aku tahu Nonik melihat ke arah kami dengan ekspresi cie-pandang-pandangan.
"Bener?"
"Bener, yuk duduk dulu." aku mengajaknya duduk di karpet.
Merdi sudah duduk di sebelah Nonik mendahului kami. Aku masih bisa merasakan sedikit nafasku yang pahit. Tapi secara keseluruhan aku sudah merasa lebih baik. Ah, aku berhutang banyak pada Euis.
"Maaf ya jadi ngerepotin." aku membuka isi hatiku, menyampaikan rasa bersalahku karena merepotkannya.
"Gak papah kok Jems." aku langsung memelototi Nonik, Merdi cekikikan.
"Tapi kalo tadi kamu gak ngerepotin aku, kamu mau tetep terkapar gitu? Gak makan gak minum, muntah-muntah terus. Dehidrasi iya deh!" seloroh Euis panjang, satu alisnya terangkat. Semakin cepat sembuh saja rasanya karena hatiku hangat akan kehadiran dan perhatiannya.
"Nanti taunya lu mati, terus yang anak musik tiup makin jarang " sahut Merdi.
"Innalillahi, turut berduka atas semakin langkanya anak musik tiup " tambah Nonik. Sejak kapan dua manusia ini jadi kompak. Aku tersenyum karena Euis tertawa mendengar kata-kata Merdi dan Nonik.
"Tuh kan, udah tenang aja Jems." Euis tersenyum manis. Tangannya merapihkan rambut pendekku. Aliran darahku kembali memompa dengan cepat. Aku berada di posisi paradoks. Antara senang dan gugup karena di depanku ada Nonik dan Merdi.
"Makasih loh ya, aku utang sama kamu." dan Euis langsung memelukku seolah tidak ada orang lain di kamar.
"Udah ah, makan dulu makaann." Nonik mengambil bungkusan yang tadi dibawa Euis. Rupanya berisi nasi warteg untuk kami semua.
***
Nonik dan Merdi pamit duluan. Meninggalkanku hanya tinggal berdua dengan Euis. Rasanya lututku mau copot tiap melihat senyumnya yang manis. Apalagi ia cukup banyak tersenyum.
"Jadi kamu yang ke kostan aku deh." aku membereskan sampah bekas bungkus nasi.
"Hihi gak papah atuh. Tapi aku jadi lupa bawa jaket kamu gara-gara buru-buru." nada bicara Euis merendah, aku melihat ke arahnya.
"Udah santai. Berarti aku memang harus ke tempat kamu."
"Aku pake ke kampus boleh gak?" entah apa yang ada di balik kata-kata Euis barusan sampai hatiku berdebar-debar mendengar tiap katanya.
"Sok aja. Buat kamu juga gak papah." jawabku berusaha terdengar enteng sebelum sok menebar senyum.
"Gak mau! Nanti Jems gak ke kostanku deh!" Euis sedikit cemberut saat mengatakan itu.
Semesta, tolong rasanya aku ingin menghilang saja sekarang...
"Ehehehehe." kekehan berusaha menyembunyikan kegugupanku. Euis tersenyum lagi.
"Jadi di kampusmu ada musik tradisi sama modern ya?" Euis mendekatkan duduknya ke arahku. Setengahnya aku bingung karena seingatku kostanku masih cukup lebar sehingga kami tidak harus berdempetan.
"Iya, Merdi tradisi kaya aku. Kalo Nonik modern."
"Ahaha iya tadi Nonik cerita. Terus katanya kamu bisa nari?" Euis tersenyum menyelidik.
"Buset Nonik yang cerita tuh? Haha dulu aku juga nari kok."
"Sebenernya dari caramu jalan aja keliatan kok Jems, hihi. Tapi keren ih kamu entar bisa bikin tarian sama musiknya sekaligus!"
"Ah enggak ah, aku tetep butuh kamu." aku menyadari ada yang salah dengan kata-kataku "maksudnya butuh penari. Makanya anak tari banyak yang pacaran sama anak musik kan."
"Wah iya? Itu biar apa?" aku tertawa mendengar pertanyaan Euis.
"Yaa biar bisa saling bantu terutama kalo tugas akhir. Penari butuh pemusik, pemusik butuh penari. Makanya katanya penari sama pemusik itu pasti jodoh."
"Ahahahaha Jems ada-ada aja deh!" Euis tertawa lepas, rasanya tawanya ingin kuabadikan di dalam alunan sulingku, penggambaran ekspresiku.
"Bener tau, haha."
"Jodoh kan cuma konsep bikinan manusia Jems. Emang definisi jodoh tuh apa sih? Pasti tiap orang punya konsep sendiri. Jodoh cuma akal-akalan orang biar nembaknya diterima!" Euis berceloteh panjang, ada benarnya juga. Tapi aku juga baru tahu tentang isi pemikiran Euis.
"Haha bener sih" aku mengangguk-anggukkan kepala.
"Haha iya kan? Mending apa yang ada dijalanin aja." aku terdiam, berusaha memahami maksud Euis.
Kemudian, yang kuingat hanya lah bagaimana secara perlahan aku mencium pipi kiri Euis dengan pelan dan bagaimana setelahnya ia mendekap tubuhku perlahan dengan sangat lembut.
Tanggal publikasi: 26 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 29 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
General FictionAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...