Sebetulnya latihan sudah selesai, tapi aku masih asik melaras bangsingku dengan saron yang ada di situ. Mencoba-coba apakah nadanya masuk atau tidak.
"Jal ngapain? Masih ngulik?" tanya kang Yoyo sambil membungkus kembali jimbenya dengan softcase.
"Iseng aja kang, kali-kali masuk." Aku meniup kembali nada G di bangsingku.
"Emang mau dimasukin suling?" sambung kak Ulfa sambil menggendong tasnya.
"Biarin aja Fa, suka gak jelas emang si Jala." kang Yoyo menyeringai usil, tidak sadar diri.
"Kang, maaf, mohon ngaca yah ini kan banyak kaca nih." kataku sambil menunjuk semua kaca yang ada di ruangan. Kang Yoyo sendiri lebih tidak jelas dibandingkan denganku, kadang membuat nada-nada tertentu tapi ujungnya hanya karena ingin mencoba saja. Sebetulnya nada-nada itu masih bisa dipakai di kemudian hari, sekarang berfungsi sebagai tabungan bank komposisi dulu. Ya itu pun kalau ingat, karena kadang-kadang tidak dicatat atau direkam, ketika dibutuhkan malah lupa.
"Kehed! Haha. Pulang yuk!" kang Yoyo menggendong tas jimbenya, aku juga langsung menyambar tas sulingku dan mengikuti kang Yoyo dan kak Ulfa keluar ruangan.
Aku mengamati sekitarku, benar-benar sepi dan hening. Tidak seperti kampusku yang sampai jam 3 pagi pun masih ada yang berseliweran. Kantin pun 24 jam karena banyak mahasiswa yang sering menginap di kampus. Aku berjalan di belakang kang Yoyo dan kak Ulfa yang masih mengobrol, kukeluarkan suling sundaku dan mulai meniupnya.
"Aduh enak banget ih." kata kak Ulfa sambil menengok ke belakang. Aku tersenyum di tengah-tengah permainanku. Rasa sedihku karena Euis tiba-tiba menghilang saat semua orang sedang sibuk beres-beres tadi. Padahal aku ingin mengantarnya pulang, itu pun kalau ia tidak membawa kendaraan dan aku bisa mengantarkan ke arah rumahnya.
"Udeh Jal, mau ditangkep polisi lu naik motor sambil main suling? Mana motor lu gede kan itungannya, bahayain orang lu." ujar kang Yoyo sambil menaruh tas jimbe di bagian depan motornya. Sepertinya kak Ulfa akan dibonceng kang Yoyo. Aku baru tahu kalau mereka berdua tetangga dan teman semasa kecil. Makanya kak Ulfa minta tolong dibantu oleh kang Yoyo untuk pementasan mereka ini.
Aku hanya memasang tampang jelek untuk menanggapi kang Yoyo dan memakai helmku lalu beriringan dengan kang Yoyo yang membonceng kak Ulfa memacu motor keluar kampus. Saat sedang melewati jalan yang gelap, dari kejauhan lampu motorku menyorot seseorang yang sedang berjalan di pinggir jalan padahal ada trotoar di sampingnya. Rasanya aku mengenali sosok itu dari belakang..ah, Euis! Rambutnya masih dicepol seperti tadi. Kupercepat pacuan motorku dan langsung berhenti di depan Euis, memblok jalannya. Di luar dugaanku, ia malah lari sekuat tenaga ke arah yang berlawanan denganku dan terlihat sangat panik. Padahal aku baru saja ingin menyapanya.
"EUIS!! INI JEMS SIAH IS!" teriakku sambil membuka helm teropongku, kang Yoyo juga meminggirkan motornya sambil melihat ke arah Euis yang akhirnya menghentikan langkahnya dan melihat ke arah kami dengan wajah kaget. Yak bagus aku berhasil membuatnya hampir kena penyakit jantung.
"JEMS SIALAAANN GUA KIRA BEGAALLL!!" teriaknya sekuat tenaga dari tempatnya berdiri, bahkan sampai berjongkok. Kudengar ledakan tawa dari kang Yoyo dan kak Ulfa, aku turun dari motor dan menghampirinya.
"Aduh maaf maaf, ehehehe. Pulang kemana? Yuk bareng." kataku sambil menyeringai dengan helm yang kutenteng. Lagi-lagi di luar dugaan ia mengambil tangan kananku dan menempelkannya di dadanya, ganti aku yang memasang ekspresi kaget. Ia hanya menatapku dengan tatapan kesal.
"Tuh kerasa kan? Ampe jantungan tau gak!" oke, aku bisa merasakan detak jantungnya yang memburu. Gua jantungan juga ngomong-ngomong...
Aku hanya menyeringai dan mengajaknya naik ke motorku.
"HAHAHAHA ANJIIIRR LAWAK BANGET SIIIHH HAHAHAHAHA!" kak Ulfa rupanya masih tidak bisa berhenti tertawa, mungkin sampai menangis karena ia membenamkan wajahnya di punggung kang Yoyo.
"Abis siapa yang gak kaget coba kak! Motor gede, jaket kulit item, helm full face jadi gak keliatan siapa yang bawa! Ih sebel!" Euis memukul pundakku saat naik ke atas motor.
"Hahaha maaf maaf, abis tadi bener-bener gak kepikiran apa-apa, cuma mau ngajak bareng." akhirnya tawaku pecah juga, aku memakai helmku dan mulai melajukan motor mengikuti kang Yoyo. Tas sulingku yang tidak terlalu besar kurasa tidak mengganggu duduk Euis.
Kudengar di belakangku Euis tertawa juga akhirnya. Aku sedikit menengok ke belakang, lupa kalau harus bertanya di mana rumahnya, atau kostannya, atau di mana ia ingin turun.
"Kamu pulang kemana?"
"Tuh kan kaya begal beneran emang, main nyuruh naik tapi gak nanya dulu mau turun dimana! Hahahaha." aku tertawa, entah selera humorku memang receh atau memang Euis barusan setengah ngabodor dan berhasil membuatku tertawa.
"Astaga aku mesti gimana lagi buat bilang minta maaf." Euis mengedapankan tas sulingku yang terselempang di bahuku. Aku bingung ia mau apa.
"Ke kostanku Jems, entar keluar dari gerbang belok kanan, ikutin jalan terus."
"Oke." aku membelokkan motor ke kanan dan mengikuti jalan seperti yang ia minta. Kami berpisah dengan kang Yoyo dan kak Ulfa yang pergi ke arah berlawanan.
"Terus kamu jalan kaki mulu tiap ke kampus?"
"Iya."
"Bahkan malem-malem gini?"
"Ya abis gimana, aku gak ada kendaraan." aku bisa merasa Euis sedikit mengangkat bahunya.
"Kok ngekost sih?" tanyaku bingung. Seingatku Euis anak Jakarta, aku pun begitu. Tapi aku tinggal di kostanku yang tidak jauh dari kampus karena kostan itu milik bos ibuku. Dan kebetulan kostanku diisi oleh teman-teman sejurusanku, jadi cukup membantu kalau kami sedang ada proyek tugas akhir bersama.
"Males ah naik kereta bolak-balik. Rumahku di Marunda, Jems." rasanya aku ingin menengok ke belakang, membuka helmku, dan menganga di depannya. Tapi jangan, nanti nabrak.
"Buset...terus ini kemana lagi?"
"Entar ada papan kuning itu belok kiri Jems." aku mengikuti arahannya tanpa berkata apa-apa. "Terus belok kanan.....terus kiri.." tahu-tahu ia memajukan duduknya dan memeluk perutku. Kontan aku kaget.
"Is?"
"Nah itu tuh kostanku yang paling pojok." Euis menumpangkan dagunya di bahuku, sekarang beribu pertanyaan bermunculan saling susul menyusul di kepalaku. Ini maksudnya apa....
Euis turun dari motorku setelah aku meminggirkannya di depan sebuah kostan bercat putih. Ia memelukku dari samping, membuatku semakin bingung.
"Biar kamu dikira pacarku ya Jems, hihi"
PACAR???!!!!
Mataku langsung mengarah ke dalam kostan, tidak ada orang atau siapapun yang berada di luar dan bisa melihat kami. Mau pamer ke siapa memang
"Hah?"
"Thanks baby! Hati-hati ya pulangnya!" ia mengecup helmku dari depan dan masuk ke kostan tanpa berkata apa-apa lagi. Aku memandangi punggungnya sebentar dan memutar balik motorku. Keluar dari gang, masuk ke jalan raya. Rasanya biasa saja. Tapi ketika lampu merah menahanku...
"ANJIIIIRRRRRRR BANGSAAAATTT APAAN TUH TADI ANJIIIIIIIIING!!!!" aku berteriak di dalam helmku, membuat suaranya hanya berputar di dalam helm dan memekakkan telingaku. Tidak peduli, toh tidak ada motor dan mobil lain di sampingku. Terbayang-bayang bagaimana ia mencium helmku dari depan, aku bisa melihatnya seolah sedang menonton film dari TV, seolah Euis mencium kamera. Kalau tidak terhalang dengan adanya helm.....berarti tadi ia mencium...aaahhh!!! Perjalananku di kostan dipenuhi oleh umpatan-umpatan yang mengabsen segala bentuk hewan yang ada di bumi dan kata-kata aneh lainnya. Plus jantungku yang masih berdebar tidak karuan, membuatku memacu motorku dengan kecepatan tinggi.
Anjir....itu tadi maksudnya apa, kata hatiku yang mulai beriak-riak memberi sinyal untuk terus mendekati Euis.
Tanggal publikasi: 19 Juli 2018
Tanggal penyuntingan: 28 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Fiction généraleAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...