43. Flu

5.4K 508 35
                                        

Sudah dua hari aku ke kampus dengan memakai jaket tebal, ditambah masker dan kupluk. Tiba-tiba aku dipanggil 'akang villa' dan banyak yang menyuruhku membawa senter juga untuk lebih lengkap. Padahal bukan tanpa alasan cara berpakaianku jadi mirip dengan kebanyakan penjaja villa di daerah puncak.

Dua hari belakangan aku terkena flu berat. Entah bagaimana awalnya. Seingatku aku tidak bisa berhenti bersin sampai hidungku serasa mau copot dan kepalaku langsung berat rasanya. Demi tetap mengikuti kuliah, aku ke kampus dengan pakaian seperti tadi.

Tapi seingatku penjaja villa tidak ada yang memakai masker. Terserah teman-temanku saja lah.

"Jems, masih kuat?" tanya Sisil. Aku terkantuk-kantuk di atas kursi bambu yang ada di tempat kami latihan. Mataku berat karena aku jadi susah tidur. Semalaman nafasku tersumbat dan aku masih saja tidak bisa berhenti bersin. Tak jarang aku merasa ngantuk saat di kelas, ataupun saat sedang latihan seperti ini.

"Bablasin niup suling aja Jems, sembuh dah pasti" sambung Bonca.

"Ekampret teori ngaco darimana itu, gua nafas aja susah apalagi niup suling, anying lah bete banget!" omelku dengan suara bindeng. Untuk merubah posisiku saja rasanya aku tak berdaya.

"Yaudah Jems istirahat dulu aja, yang penting nanti kita gak boleh ngecewain mbak Yara!" kata Tito sembari mengambil gitarnya.

Kurang dari seminggu yang lalu, mbak Yara menghubungiku. Katanya minta grupku menjadi pembuka sebuah diskusi kebudayaan yang akan dilaksanakan di gedung Anyelir. Sudah pasti Bonca, Tito dan Awang langsung semangat luar biasa. Semua lagu yang dipesankan oleh mbak Yara langsung diiyakan. Padahal 3 dari 4 lagu yang diminta belum pernah kami garap sama sekali. Sisil marah-marah, Merdi yang bertugas sebagai vokalis meminta pertanggungjawaban dari Tito. Kalau sampai hari H ia masih belum hafal, Tito harus menjadi vokalis. Padahal suara Tito seperti kucing yang masih belajar mengeong dengan pitch nada yang enak didengar. Aku santai-santai saja, karena merasa tugasku hanya memperindah lagu.

Sialnya aku khilaf, aku sombong. Semesta menyentilku dengan memberikan flu berat 4 hari sebelum pentas. Berarti hanya ada kurang dari 2 hari lagi bagiku untuk menyembuhkan diri. Kalau tidak, celaka lah aku. Celaka lah grupku.

Merdi melakukan pemanasan vokal di sebelahku, yang sedang teler karena susah bernafas, mata berat, dan kepala senat-senut.

"Duh Jems lu kagak pulang aja ke rumah biar dirawatin ibu lu?" katanya di tengah pemanasannya.

"Ah gak enak ah masa pulangnya malah pas lagi sakit." kataku berat.

"Ya daripada lu bengep kaya gini! Si itu pulang kapan sih? Kasian dah lu gak ada yang ngerawatin!"

Aku menghela nafas dengan susah payah. Ah segala nyinggung-nyinggung si itu dah lu. Tapi aku tidak menyalahkan. Yang Merdi tahu Euis pulang kurang dari tiga minggu lagi. Nonik yang kuceritakan tentang semuanya. Aku sempat ditertawakan olehnya, katanya hidupku selalu dikelilingi gadis-gadis penggoda yang akhirnya membuatku luluh. Maksudnya Mira, tapi walau aku luluh tidak sampai jatuh hati.

"Bulan depan kali, auk ah gua cuma pengen tidur dengan tenang Mer. Sehariiiii aja." aku mengangkat jari telunjukku, menunjuk jumlah 1. Merdi sedikit tertawa.

"Mau gua bawain sop ayam Jems?" tawar Merdi sambil bangkit berdiri. Rambut pirangnya jatuh dari pundaknya.

"Gak usah Mer, repot entar lu."

"Halah berisik! Entar malem gua bawain!" tukas Merdi.

"Mer, Bulan Sapasi dari apa?" teriak Awang yang sedang menyusun urutan lagu dengan Tito.

"Dari G!" jawab Merdi sambil berteriak juga. Ia beranjak menghampiri Awang dan Tito.

Aku mengeluarkan ponsel dari kantong jaket dengan lemah. Mengecek chat-chat yang masuk dan mengecek jarkoman diskusi besok yang kusebar ke berbagai macam grup. Tak lupa kukabari grup BTD dan grup mang Indoy juga. Kabarnya Genta, Ara dan Zizah mau datang. Kalau dari tempat mang Indoy ada kang Usep, Amel, Pampam dan tentu saja Mira yang katanya mau hadir. Nanti mereka akan kukenalkan satu sama lain. Memperluas jaringan perkenalan sekaligus menambah ilmu tentang kesenian secara akademis.

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang