Entah tinggal berapa minggu lagi sebelum keberangkatan Euis. Aku jadi malas menghitung hari. Mengingat hari dan tanggal pun tak sudi rasanya.
Euis menjadi lebih perhatian padaku. Tidak tahu karena memang sudah sewajarnya sebagai 'pacar' atau karena ia akhirnya tahu tentang keluargaku. Waktu itu ia mengajakku bertemu. Peluknya penuh rindu, begitu pula dekapanku.
Sambil menikmati moccachino-nya, Euis akhirnya mengerti kenapa aku sangat terikat dengan sanggarku, terlebih uwa Yayan. Bapakku selalu keras padaku karena ingin aku menjadi tentara atau semacamnya. Sejak kecil aku sudah akrab dengan ikat pinggang, sapu lidi, sepatu, dan tempelengan tangan bapak. Hanya karena masih ada titik air yang terlihat mengering dari gelas yang kucuci saja tangan bapak sudah mampir ke pipiku. Hanya karena sepatuku tidak kutata dengan sejajar sempurna saja ikat pinggang sudah menyapa punggungku.
Ibuku mengajakku ke sanggar uwa Yayan agar aku memiliki sesuatu yang lain selain disiplin karena takut dan tunduk. Agar aku mengenal disiplin estetika dan kelembutan hati. Uwa Yayan yang selalu melindungiku ketika bapak datang ke sanggar dengan amarah karena aku terlalu lama menghabiskan waktu disana. Uwa Yayan rela dibentak oleh bapak dan bahkan rela harga dirinya diinjak-injak demi menyelamatkanku. Menyelamatkan mentalku. Uwa Yayan tidak pernah menyerah. Aku pun mulai melihat uwa Yayan juga sebagai sosok ayah.
Akhirnya bapak sering bertengkar dengan ibu. Mempersalahkan ibu yang dianggap membuatku makin dekat dengan dunia seni ketimbang dunia militan yang diinginkan bapak untuk aku berada disana. Adikku lahir dengan jarak 10 tahun dariku. Bapak mulai meluapkan kekecewaannya dan emosinya secara positif. Dengan menyayangi adikku. Ibuku bersyukur karena lahirnya adikku membawa kedamaian untuk keluargaku.
Tapi tetap saja bapak tidak suka ketika aku lebih memilih menginap di sanggar, ikut pentas kesana kemari dibanding diam di rumah untuk belajar apa saja yang kuperlukan untuk bisa masuk militer. Padahal masuk ke jenjang SMP pun belum. Mana betah aku berlama-lama di rumah kalau bapakku sendiri terus mencecarku.
Aku dinamakan Jalanidhi Megaseta karena bapak ingin aku menjelajah dalamnya samudra dan luasnya langit dengan menjadi militer. Aku merasa berat dengan namaku sendiri, hingga uwa Yayan mengartikan namaku dengan cara lain. Jadilah orang yang rendah hati dan lapang dada bagaikan samudra yang luas dan dalam, sekaligus tulus ikhlas bagai ringannya awan. Aku menyukai namaku.
Hingga aku akan menginjak bangku SMA, bapak kembali meledak. Pertengkaran dengan ibu semakin menjadi dan bisa tersulut hanya dari masalah sepele. Bapak mendendam karena menganggap ibu menghancurkan cita-cita bapak untuk menjadikanku apa yang diimpikannya. Aku yang semakin dewasa mulai berani melindungi ibu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana ibu bisa tahan dengan bapak selama ini.
Akhirnya bapak merasa ini semua dikarenakan kami masih di Sumedang. Bapak juga menganggap Uwa Yayan telah merebutku walau sebenarnya tidak pernah bermaksud. Uwa Yayan justru telah memberikan dunia padaku. Dengan alasan pekerjaan bapak memindahkan aku, adikku dan ibu ke jakarta. Hatiku hancur ketika aku harus berpisah dengan sanggar, uwa Yayan, dan Sumedang.
Akhirnya ketika aku menginjak kelas 11 SMA, ganti ibu yang meledak. Stok kesabaran yang alam suplai telah habis. Bapak dan ibu berpisah, ibu menangis hanya karena memikirkan nasibku dan adikku setelah bapak hengkang dari rumah. Setelahnya tidak ada yang ibu rasa perlu ditangisi.
Disitulah aku bertemu kang Yoyo yang mengisi acara di sekolahku bersama grup kontemporernya. Kang Yoyo yang menganjurkanku masuk ke kampus yang sama dengannya, sering memberiku job dan berbagai macam proyek sehingga aku bisa membiayai hidupku dan bantu membiayai adik dan ibuku.
Ibu yang bekerja sebagai salah satu juru masak di restoran makanan sunda sangat disayang oleh bosnya. Aku diperbolehkan tinggal di kost milik bos ibu yang kebetulan dekat kampusku, dan sejak saat itu lah hidupku mulai membaik. Aku dengar bapak pun sudah bahagia dengan keluarga baru binaannya di Solo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Художественная прозаAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...