Bahagia itu sederhana. Dan bahagia itu bisa datang dengan cara yang paling aneh. Sumpah. Bahkan dari hal yang paling tidak pernah kuduga dan kupikirkan sekalipun.
Seperti siang tadi. Aku mengantar Euis bertemu dengan teman lamanya di taman Menteng. Tadinya aku ingin menyendiri, memberikan Euis waktu untuk bertemu dengan temannya. Tapi ia memintaku untuk ikut.
Akhirnya aku berkenalan dengan teman baiknya semasa SMA, yang baru bisa pulang setelah 2 tahun kuliah di Jerman. Katanya ia bekerja keras agar bisa membeli tiket pulang ke Indonesia, sekaligus tiket kembali ke Jerman juga.
Seperti biasa aku dengan reflek memainkan sulingku di saat aku sudah tidak terlalu terlibat dengan percakapan Euis dan Rubu. Aku kaget ketika mendapati Rubi menitikkan air mata sambil melihat ke arahku. Katanya hatinya terenyuh. Ia menceritakan perjuangannya di Jerman, dan betapa rindunya ia dengan Indonesia. Dengan rumahnya.
Entah kenapa aku ikut terenyuh sekaligus senang. Bersyukur kepada semesta karena ada yang menerima permainanku. Apalagi sampai membuatnya menitikkan air mata haru.
Sepeninggal temannya, Euis menggenggam tanganku lama. Sumringah dan senyumnya menular. Walau tanpa kata terucap hatiku sudah cukup berbunga-bunga dan senyumku sudah cukup lebar. Alam memintaku menikmati apa yang sedang kurasakan. Mengingatkanku betapa mati-matiannya usahaku dulu hanya untuk bisa menggenggam tangan Euis seperti ini. Tanpa perasaan takut, malu, was-was, dan sebagainya.
Selepas TA berarti liburan menanti, walau aku masih menunggu kapan sidang TA-ku. Euis pun langsung kembali sibuk dengan kuliahnya. Menyebabkanku tidak terlalu rutin bertemu dengannya. Sehingga ketika bisa bertemu dengannya aku bisa merasakan, bahagia itu sederhana.
Melihat senyumnya, menikmati tawanya, mengurai gerak tubuhnya, mengikuti langkahnya, mendengar suaranya, bersyukur bisa berada di sampingnya.
Tak masalah ketika ia mengajakku ke tempat lainnya, sebuah tempat makan di sebuah pusat perbelanjaan dimana teman sekostnya sedang bekerja sambilan disitu. Euis mengenalkanku kepada Nadia sebagai pemusik yang selalu siap mengiringinya. Sama seperti caranya mengenalkanku pada Rubi tadi.
Kemudian kami mengambil meja paling pojok dan paling tertutup di situ. Euis masih tidak bisa berhenti menggenggam tanganku sembari tersenyum manis.
"Udah lama Jems gak liat kamu seseneng ini. Aku jadi seneng juga. Hihi" katanya sembari mengeratkan genggamannya. Hangatnya menjalar sampai ke hatiku.
"Justru aku seneng karena liat kamu, Is..." kataku setengah berbisik. Senyumnya semakin merekah, seiring semakin mengembangnya juga bunga-bunga yang ada di dalam hatiku.
Kemudian kami terdiam, dengan senyum yang masih tersungging di wajah masing-masing. Kilatan matanya membuatku merasa sangat hidup. Lembut dan teduh. Senyumnya membuat sejuk pikiranku. Ah, sudah lama aku tidak merasa seringan ini. Tugas akhirku sedikitnya sudah merenggut kemanusiaanku. Membuatku lupa bagaimana caranya merasakan ini semua. Bahagia memang sederhana.
Kemudian kami bangkit berdiri setelah Euis menyuruhku pulang. Tak usah mengantarnya pulang karena membuatku harus memutar ketika pulang nanti. Ia akan pulang bersama Nadia saja katanya.
"Ah!" suara Euis membuatku langsung membalikkan badan. Dan aku juga kaget karena di tangannya sudah ada sebuah totopong bermotif Sidamukti.
"Eh... Kenapa??" tanyaku bingung.
"Ini buat kamu" katanya sambil menyodorkan totopong itu. Aku menerimanya dan melihat totopong itu dengan sedikit kaget. Bagaimana tidak, totopong ini terbuat dari batik tulis halus.
"Ini kamu dapet dari mana??" tanyaku kaget bin bingung.
"Ada deehh, buat gantian sama totopong yang dari ayah. Yang ini dari aku" senyum manisnya sudah tidak ada obatnya. Semakin sumringah saja aku dibuatnya.
"Parah banget kamu ini kan mahal" kataku sambil memeluknya. "Makasih ya manis.... Ini aku pake-pake terus deh..."
"Hihi boleh, sama-sama ya sayangku. Hati-hati pulangnya. Jangan begadang"
Setelahnya aku pamit dan menyadari kalau tiket parkirku hilang. Ah biar lah. Ketika di loket parkir, petugasnya hanya bisa menggeleng-geleng kepala dengan bingung karena aku tetap tersenyum santai walau harus dikenakan denda hingga lima puluh ribu dan menjalani sejumlah pemeriksaan SIM dan STNK.
Bahkan saat di perjalanan pulang pun aku tidak bisa berhenti bernyanyi-nyanyi. Motor kupacu dengan kecepatan normal karena aku ingin menikmati perjalananku. Pundakku terasa ringan walau kantungku baru saja terkuras. Entah apa yang benar-benar membuatku merasa sangat bahagia. Mungkin karena hari ini kuhabiskan bersama Euis, atau mungkin karena aku diberi totopong kualitas tinggi olehnya. Aku tidak tahu.
Bahkan aku dengan santainya bercerita pada Raya dan Desi kalau aku baru saja dikenai denda lima puluh ribu. Kuceritakan dengan wajah sumringah dan senyum lebar.
"Bloon, terus kenapa lu masih senyam-senyum? Seneng lu duit melayang??" tanya Desi bingung.
"Hidup kan take and give Des, ya mungkin memang saatnya gua memberi" kataku sambil menyelonjorkan kaki di kursi, tanganku memegang totopong pemberian Euis. Ah wangi parfum Euis menempel di totopong ini, mungkin karena diletakkan di dalam tasnya dalam waktu yang lama.
"Yaelah Jems, haha. Tapi kalo lu seneng-seneng aja mah kita juga jadi biasa aja ya. Padahal kalo lu mewek kita bakal ngipasin kok. Haha" sambung Raya. Membuatku menyeringai lebar.
"Bahagia bet lagi lu!" timpal Desi yang lalu tertawa.
"Ah gimana ya, kadang bahagia datang dengan cara paling aneh yang kita gak tau sih..." kataku sambil melihat ke langit-langit. Handphoneku tiba-tiba bergetar dengan tanda khusus.
"Thanks for today my sweet baby, even my heart's still pounding now 💓
Love you"Ah, terima kasih semesta atas ia yang kau berikan untukku, anugrah darimu, sumber kebahagiaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
General FictionAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...