Nonik sepertinya mulai frustasi. Sudah berbagai pertanyaan dilancarkannya. Tapi tidak ada satu pun yang kujawab dengan benar. Kami tidak sedang belajar untuk kuis atau apa. Tidak juga sedang tanya jawab tentang sesuatu yang harus dijawab secara eksak.
"Jems, gua ulangin nih pertanyaan gua. Kira-kira, kenapa, Euis, gak, ngehubungin, elu, dan, kenapa, elu, gak, nyari, tau???!" dari cara Nonik memenggal tiap katanya, aku bisa tahu ia kesal karena aku hanya terkesan pasrah.
"Ah...gak tau Non...bahkan gua udah lelah terus ngirim chat yang tak kunjung berbalas." jawabku lemas.
"Ini udah jaman modern Jems!! Lu gak mesti ke dukun untuk cari tau sekarang dia lagi ada dimana dan lagi apa!!" aku tak menjawab, hanya menyender pada kasurku.
"Kapan terakhir lu makan?"
"Kok lu malah nanya makanan sih?"
"Lu kurusan, bego!" lagi-lagi aku tidak menjawab. Hanya menghela nafas. Aku bisa mendengar gumaman kegusaran Nonik.
"Sini hape lu!"
Aku membiarkan Nonik menggerayangi handphoneku. Entah apa yang dibuka dan dibacanya. Chat-chatku dengan Euis mungkin. Atau yang lain. Beberapa hari setelah bertemu Cici, ia mengabariku kalau Euis sudah membalas chatnya. Alasan Euis tidak memberi kabar selama beberapa hari karena ia tidak menemukan wifi. Sedangkan aku? Sudah menginjak angka 2 minggu lebih 1 hari chatku masih belum dibalasi sama sekali.
"Nih!" Nonik menyodorkan layar handphoneku ke depan mataku. Ia membuka akun instagram Euis dan bagian foto-foto dimana Euis ditag di dalamnya.
Dengan enggan kuambil handphoneku. Banyak foto dimana Euis sedang berada di kelas, sedang di pantai dengan teman-temannya, berfoto dengan latar Opera House, dan lain-lain. Rasanya tenagaku semakin tersedot hilang. Apalagi waktu melihat beberapa foto Euis bersama seorang laki-laki berkebangsaan Australia sepertinya. Cukup banyak foto hanya mereka berdua, entah di restoran, di kampus, dan di bangku taman.
Kulempar handphoneku dengan asal ke karpet. Mataku menatap langit-langit kostan. Aku tidak mau berasumsi sendiri dan berpikiran aneh-aneh. Malah sebisa mungkin coba kujauhi itu semua. Tapi apa daya, tetap saja rasa sakit yang tak terjelaskan memenuhi dadaku.
Kupejamkan mataku, menyebut nama Euis berulangkali di dalam hati. Berharap jauh disana ia merasa kalau aku menyebut namanya tanpa henti.
"Jems, warkop dah yuk kita makan." Nonik mengingatkan akan kebutuhan dasarku. Tapi aku tidak merasa lapar sama sekali.
"Lu aja." kataku lirih.
"Jems...." ada suara lain di kamar. Aku menengok, Desi.
"Gua gak tau lu kenapa, tapi aneh banget liat elu gak keluar kamar dari jumat kemaren. Kita makan yuk." ajaknya, terpaksa aku mengiyakan.
"Nah gitu dong Jems, lu gak mau diamukin Desi lagi kan? Haha"
Aku tidak tahu kapan mereka bersekongkol. Yang jelas belakangan aku baru tahu Nonik hanya sekadar bercerita pada Desi kalau aku sedang mengalami konflik batin. Itu pun karena Desi menanyakan alasan di balik tingkah anehku, yang makin menjadi karena aku memilih terus tidur di kamar. Keluar kamar pun hanya karena ingin mencari udara segar setelah mandi.
Di warkop, sebutan kami untuk warung makan serba ada ini aku membiarkan Nonik memesankan nasi ayam saus tiram untukku. Katanya aku perlu tenaga. Yah, yang kubutuhkam tenaga untuk pikiran dan batinku sebetulnya. Aku mati-matian berusaha tidak mengingat-ingat kata-kata Reni tentang Euis. Sialan, sekarang aku seolah dihantui oleh kata-katanya yang belum bisa terbukti kebenarannya.
"Makan Jems, buru. Abis ini kita spooring ban mobil." aku menoleh ke arah Nonik dengan cepat.
"Kok lu random sih tau-tau ngajakin spooring ban? Lu kata gua tukang ban?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Ficción GeneralAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...