"Oh sekarang lu ngaku punya gebetan baru?" tanya Nonik dengan santai, sambil memberi rosin pada bow cello-nya.
"Men, plis banget, bukan itu intinya!"
"Ngaku dulu kalo lu punya gebetan baru! Eh D dong."
Aku meniup nada D dari flute yang kupegang, aku baru sadar Nonik memakai jaket yang bertuliskan nama lengkapnya, Sera Liliyan Hutapea. Jangan tanya kenapa nama panggilannya menjadi Nonik, aku pun bingung. Nonik menyetem senar cellonya hingga frekuensinya sama dengan nada D yang kutiup dari flute-ku.
"Udah tuh." kataku sambil menarik nafas.
"Belom coy, dikit lagi." Nonik menggesek senar cello-nya dengan bow. "Eh udah deh, hehe" ia menyeringai, kalau tidak ingat berapa harga flute yang sedang kupegang mungkin sudah kupakai untuk menoyor kepalanya.
"Okeh, ngaku gak kalo lu punya gebetan baru, kalo gak gua masih nganggap lu masih seneng sama si Reni anak teater." Nonik ini memang sudah seperti cenayang, sering kali aku dibuat tak berkutik olehnya.
"Iya gua punya gebetan baru, puas? Katab lu dasar!" jawabku dengan nada rendah, kesal karena ia membawa-bawa Reni, anak jurusan teater yang dulu kusukai.
Kami sempat dekat, sangat dekat. Hingga aku tahu ia sebetulnya sudah punya pacar laki-laki dan pacar perempuan juga dalam waktu yang bersamaan. Aku seolah hanya menjadi babunya saja ketika ia butuh pengiring teater untuk tugasnya.
"Hahaha, udah lupain dah si Reni. Jadi si Iis Iis ini gimana?" Nonik seolah bisa tahu di kepalaku sempat terlintas pikiran tentang Reni, membuatku semakin memasang tampang jelek.
"Namanya Euis, ya pokoknya kaya yang tadi gua cerita."
Nonik mengangguk-anggukkan kepala, tapi jemarinya mulai menekan senar dan tangan kanannya menggesekkan bow pada cello. Membentuk nada-nada yang berat tapi lembut. Memancingku untuk meniup flute dan memasukkan nada-nada ke dalamnya.
"Jangan disundain geblek!" protes Nonik.
"Ya suka-suka gua atuh!" kataku menghentikan permainanku.
"Yeh! Mentang-mentang lagi suka sama orang sunda lu ya?!" goda Nonik sambil tertawa puas.
"BANGSAAATTT!" kujitak kepala temanku yang jarang memberi filter pada ucapannya.
"Hahahaha anjir lu. Anyway, lu harus hati-hati deh." Nonik menghentikan permainannya juga.
"Hah? Hati-hati? Kenapa?" dahiku mengkerut.
"Euis-Euis ini kayanya penggoda deh, takutnya nanti lu suka sama dia cuma karena lust." Nonik menatapku tajam.
"Jangan disamain sama Reni dong...." kataku lirih.
"Tapi kan gak ada salahnya hati-hati. Jangan sampe jatoh di lubang yang sama. Dari cerita lu aja kayanya lu kepancing karena dia begitu menggoda diri lu."
Aku terdiam mendengar kata-kata Nonik. Kebetulan ada orang lain yang masuk ke ruangan, berarti percakapan kami selanjutnya harus dengan volume yang lebih pelan atau terpaksa ditunda dulu. Pikiranku mengambang, dulu aku dekat dengan Reni karena dia yang mendekatiku. Langsung menunjukkan kalau ia menyukaiku. Kami pun dekat. Kemana-mana selalu bersama dan selalu kuantar. Rela-relanya aku begadang hampir tiap hari demi menunggunya selesai latihan, mengerjakan tugas, dan lainnya.
Hingga akhirnya, ketika aku sudah bersiap-siap untuk menjadikannya pacarku, aku mendapat fakta yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri kalau ia memiliki pacar laki-laki. Tak hanya itu saja, rupanya ia juga memacari kakak kelasnya yang juga perempuan tomboy nan macho. Hatiku hancur, tapi kutuangkan dalam sebuah repetoar yang kutampilkan pada tugas akhirku.
Gegana. Sebuah repetoar instrumental yang bernada keras dan penuh dengan amarah. Tergambar dengan baik karena aku benar-benar membanting gitar di tengah repetoarku itu. Aku masih ingat ekspresi kehancuran Reni saat menonton karyaku, karena gitar yang kubanting adalah gitar yang sering kupakai untuk menyanyikan lagu-lagu romantis untuknya.
Nonik menatapku dengan satu alis terangkat. Buatku Euis tidak akan melakukan hal semacam itu, atau aku memang dibutakan oleh rasa sukaku? Atau karena aku terlah terbiasa dengan sikap Reni yang penggoda? Atau aku menceritakan tentang Euis dari sudut pandang yang salah dan penyampaianku kurang tepat? Entah.
"Sambung nanti aja Jems, tapi kata gua sih lu hati-hati aja. Masih banyak kok penari yang bisa lu iringin hidup dan geraknya dengan sepenuh jiwa raga lu." Nonik kembali menggesek cello-nya. Harus kah aku benar-benar berhati-hati?
Tanggal publikasi: 18 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 28 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Fiction généraleAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...