Suasana yang kupikir akan sedikit ramai rupanya malah cukup hening. Tidak terlalu hening sebetulnya. Dan bukan jenis hening yang canggung.
Cici senyam-senyum melihat ke arahku dan Euis, entah apa yang ada di pikirannya.
Euis seperti sedang berusaha menahan senyum berlebih namun sorot matanya seperti menghindari menatapku. Tidak sesuai dengan tangannya yang terkadang menggenggam tanganku di balik meja.
Sedangkan aku, berpura-pura kepanasan dengan mengebaskan kerah bajuku berkali-kali.
"Gak pesen makan kak?" tanya Cici, masih tersenyum. Ketika aku menengok ke Euis aku seolah sedang melihat wajah Cici juga, dan begitu pula sebaliknya.
"Aduh nggak lah, gak laper...."
"Kamu kurusan...." potong Euis. Reflek aku menengok ke arahnya dengan dada yang berdebar-debar aneh.
Ah, aku bahkan tidak ingin mengomentari Euis yang sedikit tambah hitam. Karena malah membuatnya terlihat semakin manis. Entah kenapa aku masih merasa rindu bahkan ketika ia sudah berada di sampingku. Memandangku dengan tatapan yang meluluhkan hati. Mana bisa aku marah padanya kalau memang itu yang ia harapkan?
"Eh kak Jems sampe di Jakarta kapan??" Cici bagai peleleh es yang ada di antaraku dan Euis. Aku hutang rasa dengannya.
"Tadi pagi, ehehehe." kekehku.
"Hah??! Terus langsung ke sini??" sergah Euis.
"Ya mandi dulu atuh...." aku membela diri.
"Kamu gak capek??!! Terus kenapa bisa tau aku di sini? Kalian berdua ceesan ya??? Ih sebel dehhh bikin surprise gak bilang-bilang!"
Euis mencubiti perutku, lalu berusaha mencubiti Cici yang bisa menghindar dengan mudahnya karena terhalang meja. Euis akhirnya menyerah setelah karena kesusahan mencubiti Cici. Bibirnya mengerucut, matanya melirikku dengan sebal. Aku tertawa sambil berusaha menyembunyikan wajahku yang sepertinya memerah.
"Ahaha tadi kak Jems nyuruh aku buat gak ngasih tau teteh..."
"Oh gitu?? Ihhhh!!" Euis mencubiti perutku lagi, aku bahkan belum sempat berbicara apapun. Hatiku lumer melihat wajah Euis yang memerah. Mencubitiku seolah hanya menjadi alasan baginya agar wajah merahnya tak terlihat.
"Ih mana surprise coba??? Atuh kalo surprise mah bawa apa gitu! Aku cuma bawa muka kumel malah." aku memblok tangan Euis. Lebih mudah daripada memblok hajaran Merdi dan bantalnya.
"Iya makanya kupikir kakak mau bawa bunga seiket gitu buat teteh, atau cincin atau apa gitu."
Waktu seolah berhenti kembali untuk mempersilahkanku menandai garis-garis besar dari kata-kata Cici tadi.
Bunga.......?
Cincin......?
Emangnya......gua keliatan kaya mau ngelamar Euis ya....... Astaga ini anak polosnya kebangetan atau apa.....
Aku melihat ke arah Cici. Bisa-bisanya ia mengucapkan ucapannya tadi sambil menyeruput kuah ramen dengan santainya. Bahkan tidak tahu kalau aku mati-matian menahan diri menghantamkan kepala ke tembok sekuat tenaga. Membuatku sibuk menyeringai sok bodoh sambil celingukan agar wajahku yang kembali memerah tak terlihat. Padahal di sampingku ada Euis yang sedang tertawa terbahak-bahak, kamuflase yang lebih cerdas daripada aku yang kurang pintar mencari pengalih perhatian.
"Eh iya!" celetukku karena teringat sesuatu, membuat Euis dan Cici langsung menoleh ke arahku dengan cepat.
"Sumpah Is, kamu parah banget." ujarku dengan tempo cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
General FictionAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...