Siang ini di Jakarta langit sedikit mendung, udara mulai mendingin. Sebagian orang mulai memakai jaket dan terburu-buru pulang entah untuk menyelamatkan diri dari hujan atau untuk menyelamatkan jemurannya. Mungkin itu yang membuat kantin menjadi agak sepi sehingga aku terpaksa menurunkan volume suaraku karena tidak ingin ceritaku didengar oleh orang lain. Seharian ini sudah berkali-kali aku bercerita pada Nonik tentang perasaanku pada gadis yang kampusnya saja jauh dari kampusku. Nonik yang bertubuh lebih pendek dariku dan mengambil spesialisasi cello ini juga tak pernah bosan memarahiku.
"Jems, mesti berapa kali gua bilang sih?? Udaahh laahh lu cari yang lain aja. Kaya gak ada yang mau sama lu aja sih!" sergah Nonik, memotong ceritaku tentang penari yang telah merebut hatiku setahun terakhir ini.
"Tapi..." aku mengacak-acak rambut pendekku yang sudah mulai memanjang.
"Chat lu aja ada yang dibalesin gak?" kata Nonik tajam sehingga makin terlihat lah garis wajah khas orang Bataknya, aku terdiam. Memutar-mutar suling yang sedari tadi kupegang.
***
Kurang lebih satu tahun yang lalu aku diajak kang Yoyo, seniorku ikut ke sebuah kampus. Kampus non-seni katanya, dan membutuhkan bantuan anak-anak seni. Aku menurut saja, karena di daerah Jadetabek memang agak susah mencari orang yang benar-benar mengerti musik tradisi secara khusus. Aku kuliah di jurusan musik dengan mengambil spesialisasi musik tradisi. Lebih khususnya lagi alat musik tiup. Kang Yoyo yang sekarang sedang menaiki motor di depanku mengambil spesialisasi perkusi. Katanya ada grup tari di kampus temannya yang butuh bantuan untuk pembuatan musik pengiring tari, karena tidak bisa sendirian kang Yoyo mengajakku.
Tadinya aku malas karena harus menempuh kemacetan tengah kota untuk sampai ke kampusnya, tapi berhubung aku banyak berhutang budi pada kang Yoyo maka kuturuti saja. Dan ketika sampai di kampus yang kebanyakan dindingnya dicat krem itu, aku agak sangsi;
Apa iya di kampus ini ada grup tari yang mampu menggarap tarian tradisi kreasi baru?
Karena memang maaf maaf saja, banyak yang berusaha menggarap tarian baru tapi masih kurang mumpuni. Bahkan untuk membawakan repetoar tari yang sudah ada saja pun kadang masih belum bisa dikatakan cukup baik.
"Ya makanya itu fungsinya kita Jal!" celetuk kang Yoyo saat kuutarakan pikiranku tadi.
Pada saat orang lain memanggil singkatan namaku; JM, Jem, Jems, dan lainnya, kang Yoyo selalu memanggilku Jal. Tapi tidak bisa disalahkan juga, memang namaku Jalanidhi.
Dari lorong tempatku berjalan aku mendengar suara musik tarian sedang diputar, ah jaipongan nih.
"Halo permisi." kang Yoyo mengetuk pintu.
"Entar dulu kang." kataku, sengaja melarang karena orang-orang di dalamnya sedang latihan, baiknya ditunggu hingga selesai dulu. Daripada mengganggu kan? Semua orang masih menari, tidak akan ada yang menengok atau menghampiri kami sekalipun beberapa gerakan memang menghadap ke arah pintu.
"Gak denger kali ya, permisi!!!"
Asli, kang Yoyo memang pantang mundur.
"Ahh iyaaa!!"
Seisi ruangan yang rata-rata perempuan itu langsung menengok ke arah kami, satu orang mematikan lagu dan yang lainnya langsung merubung ke arah pintu masuk. Aku menepuk dahiku karena kelakuan kang Yoyo.
"Haloo Yo sampe juga!" sapa seorang gadis yang sedikit gemuk namun tubuhnya sangat berisi dan berbentuk. Rambutnya panjang sesiku dan dicat coklat. Dari bentuk badannya saja aku berani yakin kalau ia penari yang baik, oke, aku cabut asumsi jahat tak berdasarku tadi.
"Yoman Fa, hahaha gua ganggu yang lagi pada latian ya?"
"Ganggu siah, geblek" timpalku dari belakang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh ini yang lu ajak? Katanya cewe?" gadis itu memiringkan kepala ke kiri sambil melihat ke arahku.
"Mohon maaf nih, saya cewe..."
kesan pertama yang bagus Jems,
padahal bukan pertama kalinya ada yang menyangka aku bukan perempuan."Ehhh maaf gak tau! Yuk masuk yuk!"
Si gadis tadi mengajak kami masuk ke ruang berukuran sekitar 10 x 4 m dengan kaca di sekelilingnya. Kagak proporsional amat ukuran ruangannya.
Kang Yoyo meletakkan tasnya, berkacak pinggang dan melihat ke sekeliling ruangan. Sementara mataku langsung tertuju pada set gamelan sunda dan beberapa alat musik lain yang ada di pojok ruangan. Walau sadar belum memperkenalkan diri dan mengenali siapa saja yang ada di ruangan itu, instingku merasa set gamelan itu lebih menarik untuk kuajak berkenalan duluan. Bahkan dibanding manusia yang merupakan mahluk hidup. Dasar gila.
"Oy Jal! Kenalan dulu atuh!" sudah kuduga kang Yoyo akan menegurku, kalau melihat gamelan dan semacamnya pasti aku langsung autis sendiri. Kalap.
"Eh iyaaa maap!" aku bangkit berdiri dan kembali berjalan ke tengah, mendekati kerumunan gadis-gadis penari bercelana legging, berkaos warna-warni dengan peluh menetes akibat gerak tari mereka tadi.
"Ulfa, 2013." kata gadis yang sedari tadi menyambut kami, menyodorkan tangannya sambil tersenyum manis. Tapi aku bingung kenapa ia menyebutkan tahun angkatannya, legitimasi mungkin, ah iya, berarti aku harus memanggilnya kak.
"Jala...eh panggil JM aja, atau Jems. Hehe."
Kak Ulfa memiringkan kepalanya lagi, bersama dengan tatapan kosong. Aku tak paham maksudnya.
"Nama lengkap dia susah." kata kang Yoyo langsung menyahut sembari sibuk berkenalan dengan penari-penari yang lain.
"Emang siapa?" tanya Heni yang barusan berkenalan denganku.
"Jalanidhi Megaseta."
"Jala apa...?" sekarang Genta yang bertanya.
"Jalanidhi Megaseta, susah kan? Udah panggil JM aja, hahaha." kataku sok asik, sambil menyalami Azizah, satu-satunya gadis berkerudung di situ.
"Fedo." seorang laki-laki berkulit putih dan berkacamata lebar menyalamiku dengan sedikit angkuh.
"Bram." lelaki lain yang lebih tinggi dari Fedo namun berkulit agak coklat menyalamiku. Ia terlihat jauh lebih ramah.
"Yuk duduk dulu yuk." kak Ulfa langsung mengajak kami duduk, bahkan aku belom sempat menyalami gadis yang berdiri di belakang Bram. Ia menabrak Bram yang tiba-tiba mundur dan kami semua langsung duduk melingkar.
"Iyah temen-temen, jadi hari ini kita kedatangan tamu yang udah kita nantikan. Ini kang Yoyo, ini Jems. Mulai hari ini mereka akan bantu kita latihan musik untuk tarian, bla bla bla--" tiba-tiba perhatianku teralih dari orasi singkat kak Ulfa. Aku baru mengamati gadis yang tadi belum sempat kuajak berkenalan, sekarang ia duduk searah denganku. Lalu aku merasa menemukan hal penting, rupanya kak Ulfa bukan orang yang paling menarik untuk terus kupandangi di ruangan ini.
Tanggal publikasi: 10 September 2016
Tanggal penyuntingan: 28 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Ficção GeralAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...