Punggungku rasanya seperti ditarik dengan katrol,
sakit. Pake banget.
Lain kali aku berpura-pura cedera saja kalau Bonca memintaku membantu membawakan saronnya. Lebih baik aku menggotong kendang sunda. Heuheu.
Sambil meregangkan badan aku melihat ke sekeliling cafe. Interiornya ala kedai para koboi Texas. Lampunya sedikit remang, tapi nyaman. Sesekali bau daging dibakar numpang lewat di depan hidungku.
Awang yang sudah memakai sarung, bagian dari kostum kami, tampak berbincang dengan seseorang dari cafe. Sementara Tito mulai meminta macam-macam mic pada soundman. Aku sudah pesan pada Tito untuk mengambilkan clip on untuk sulingku. Tapi seperti yang biasanya terjadi, tidak ada clip on yang pas untuk sulingku. Mic kembali menjadi teman setiaku.
Tangan kurus Bonca sedang mengguncang-guncang tubuh ramping Merdi. Sedari tadi ia tampak lesu, tak bersemangat, dan tidak berbicara sedikit pun. Bahkan dari sepengamatanku, matanya sembab seolah habis menangis semalaman.
Sisil yang biasanya selalu menyapa kami semua tiba-tiba tidak menyapa Merdi hari ini. Entah ada apa. Aku menghela nafas. Apapun yang terjadi cepatlah berlalu. Tahu-tahu seorang soundman datang membawakan clip on untukku.
"Mas, sini saya pasang clip on-nya." kata mas soundman dibalik topinya yang menutupi sebagian wajahnya. Kudengar Sisil dan Awang cekikikan menahan tawa.
Kubiarkan sulingku dipasangi clip on oleh mas soundman tadi. Peduli amat dengan Sisil dan Awang yang kupelototi habis-habisan. Tahu-tahu Merdi naik ke atas panggung dengan gontai. Bahkan rasanya aku tidak tega untuk sekadar berbasa-basi menanyakan kabar. Begitu pula teman-temanku yang lain. Pun Merdi sendiri tidak terlihat ingin ditanyai.
Yah, kadang manusia memang perlu waktu untuk menikmati kesendiriannya walau berada di antara hingar bingar ciptaan manusia lain.
***
Suasana cafe menjadi meriah ditambah dengan lampu panggung yang berwarna-warni. Hampir semua pengunjung cafe ikut menyanyikan lagu terakhir kami, Can't Take My Eyes of You. Dibawakan dengan gaya kami sendiri tentunya.
Aku melempar senyum pada Euis yang ada di antara sekian banyaknya pengunjung cafe. Turtleneck warna gelap yang dikenakannya semakin memancarkan aura memikatnya. Ia duduk pada meja kecil di dekat bar minuman. Bertopang dagu di tangan kanan dan senyumnya tak pernah surut.
Tahu-tahu ada pemuda dengan rambut di-pomade super mengkilat naik ke atas panggung dan mengajak Sisil selfie. Sisil yang masih asik menggesek biola hanya bisa sedikit bergaya. Personil yang lain hanya tertawa sambil terus bermain. Di akhir lagu, pemuda itu masih di atas panggung dan ikut mengucapkan salam terima kasih seolah ia bagian dari grup.
Bisa dipastikan setelahnya pemuda itu menawarkan diri untuk mentraktir Sisil. Bonca yang paling heboh menyorakinya dari pada aku dan yang lain. Padahal aku tahu Sisil masuk ke daftar perempuan yang pernah merebut hatinya.
Tentunya aku langsung menghambur menghampiri Euis setelah menaruh sulingku di tas. Sarung dan ikat kepala yang masih kukenakan bisa menunggu untuk kulepas.
"Cie." Euis menyambutku dengan senyum manis. Memangku satu kaki di atas kaki yang lain dengan kedua tangannya memegangi lututnya. Baru terlihat kalau ia memakai celana warna beige dan sandal kulit.
"Kok cie sih?" protesku. Kuambil kursi di depannya dan menempatkan diri di situ.
"Cie karena abis tampil sama cie karena kamu ganteng." ia tersenyum lagi. Mengedipkan mata dengan cara yang membuatku tergoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Ficção GeralAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...