32. Adaptasi

6.1K 531 42
                                        

"Jala ya?" sapa seorang pemuda berumur sekitar 27 tahun, bertubuh tambun dengan rambut agak cepak dengan pipi tembam bagai bakpau kukus, menyodorkan tangannya kepadaku.

"Ah iya...." aku menyambut tangan itu.

"Saya mang Indoy." sontak aku menahan kekagetanku.

Kupikir mang Indoy akan terlihat sedikit lebih tua, garang, dan selalu memakai ikat kepala kemana-mana seperti uwa Yayan. Gambaran anak muda berkaos oblong dengan wajah yang masih seperti mahasiswa tidak pernah terlintas di kepalaku.

"Eh mang Indoy, punten mang sugan teh sanes mang Indoy. Hehe." (eh mang Indoy, maaf mang kirain mah bukan mang Indoy. Hehe)

"Hehe hayu atuh ke dalem."

Aku mengikuti mang Indoy masuk ke sebuah ruangan yang besarnya sekitar setengah lapangan basket. Perangkat gamelan ada di pojok ruangan, di sisi lain banyak orang yang sedang mengobrol, minum kopi, merokok, pemanasan, dan lain-lain.

Telingaku terarah pada suara sekumpulan perempuan yang sedang bergosip heboh. Pasti para penari. Umurnya rata-rata sebaya denganku, atau di atasku kalau dilihat dari penampilannya.

"Sep, ini Jala yang gantiin si Yoyo." mang Indoy mengenalkanku pada seorang lelaki berambut gondrong dengan rokok di tangannya. Aku menyalami lelaki itu.

"Usep. Di sini mah santai aja ya, anggep rumah sendiri." kata kang Usep.

"Beres kang, ini teh sanggar udah lama ya? Baru tau euy."

"Yoyo gak pernah cerita emang? Ini mah yang asli orang sini cuma beberapa doang. Kalo mau ada pentas baru cabut sana cabut sini. Makanya kadang pada ngobrol sendiri-sendiri. Tapi aslinya mah hatinya jadi satu." jelas kang Usep panjang. Aku mengangguk-anggukkan kepala, tapi kemudian menggeleng ketika ditawari rokok.

"Nuhun, kang." tolakku halus.

"Teu ngarokok?" (gak ngerokok?)

"Tara, kang." (gak pernah kang)

"Beuh seniman kuat iman ini! Haha, tapi gak papah berarti uang gak banyak lari ke rokok." aku menyeringai lebar mendengar kata-kata kang Usep. Tapi uangku larinya ke kopi.

Aku melihat ke sekeliling. Yah...dihitung-hitung lumayan lah di saat liburan begini ada yang bisa kulakukan. Melihat para penari yang masih asik bergosip ria mengingatkanku pada Euis...

Euis M.
Susah cari wifi Jems :(
Ini lagi banyak acara-acara semacem biar bisa adaptasi di sini gitu deh.
Jangan lupa makan ♥️

Perbedaan waktu kurang lebih 4 jam cukup membuatku merasa sedikit lucu, sekaligus bingung. Tadi aku bingung waktu dimarahi karena jam 10 baru sarapan, tapi kemudian Euis meminta maaf karena di sana sudah pukul 2 siang. Rasanya aku pun perlu adaptasi soal perbedaan waktu ini.

"Lagi libur kuliah?" tanya kang Usep, mendaratkanku kembali ke dunia.

"Iyah kang. Kalo kang Yoyo kan lagi mau sidang skripsi. Baru bulan depan kali tampil tugas karya akhir." kataku. Anak seni harus menampilkan karya akhir selain skripsi.

"Oh... Jala bisa ngendang?"

"Ya...bisa sih kang." aku menaikkan alisku, seingatku aku dipanggil untuk menyaron.

"Udah kenal sama yang main kendang?"

"Ya belum atuh kang, baru juga sampe. Hehe."

"Pasti kamu cepet cocok dah sama yang main kendang." senyum kang Usep tak terjelaskan. Aku tidak mengerti maksudnya. Kata 'cocok' itu bisa memiliki berbagai arti.

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang