44. Jangan Begitu

5.1K 517 29
                                    

"Jems kok lu ngajak berantem sih???!"

"Lah gua gak tau anjir... HASYUU!!"

Dua hari belakangan keadaanku sudah mulai membaik. Ya minimal hidung sudah tidak tersumbat lah. Latihan terakhir kemarin pun aku sudah bisa meniup suling dengan lancar tanpa tersela oleh nafasku yang habis ataupun bersin.

Karena merasa pentas kali ini spesial, Tito membawa gitar akustik terbaiknya yang selama ini hanya menjadi penghias kamarnya. Gitar yang hanya dijadikan pajangan otomatis berdebu. Dan debu dari gitarnya itu lah yang memicu bersinku datang lagi. Sejak Tito mengeluarkan gitarnya dari casenya aku benar-benar disiksa oleh bersin yang entah kapan berhentinya.

Tentu saja teman-temanku geger. Kalau aku masih tidak bisa berhenti bersin sampai tiba waktunya nanti, habis lah aku. Aku secara harafiah, kepalaku pasti sudah meledak kalau sampai 2 jam ke depan aku masih belum berhenti bersin.

"Liat lampu Jems biar gak jadi bersin!" kata Sisil sambil menyetem biolanya.

"Jangan! Liat lampu mah malah jadi bersin!" timpal Bonca.

"HASYUU!!"

"Tuh kan!" tukas Bonca penuh kemenangan.

"Gak ada hubungan..HASYUU!!!"

Aku menyerah. Kutitipkan sulingku ke Bonca dan aku menyelonjorkan tubuh di atas kursi penonton yang sudah terjejer rapi. Kupikir dengan merilekskan tubuh bisa membuat bersin ini berhenti. Tapi rupanya tetap saja, malah aku tidak jadi selonjoran dan malah duduk menyender pada salah satu kursi.

Bonca melambaikan tangan padaku sambil meniup suling di depan mic. Aku mengayun-ayunkan tangan ke atas dengan lunglai, dan terkadang diselingi bersin. Maksudnya minta volume dinaikkan. Padahal telingaku sendiri sedang tidak berfungsi dengan baik.

Di saat kepalaku serasa berputar karena bersin yang cukup mantab barusan, ponselku bergetar. Langsung kurogoh kantongku dengan cepat, takut kalau-kalau itu panggilan dari mbak Yara.

"Halo.."

"Beb, gedungnya yang deket kostan kamu itu kan?" aku merutuk. Bisa-bisanya tulisan 'Mira' kusalahi pembacaannya menjadi 'mbak Yara'.

"Ho'oh."

"Kamu kenapa kok bindeng gitu?"

"HASYUUU!!" sial, lagi-lagi aku bersin.

"Bebeb lagi pilek ya??! Aku bawain obat ya??"

"Gak usaaahh!" selorohku dengan berat dan panjang lalu diakhiri bersin. Belakangan Mira mulai memanggilku 'bebeb'. Sampai aku geli dan capek sendiri memperingatkannya untuk jangan memanggilku seperti itu di depan orang lain. Apa lagi kalau di depan Euis nanti.

"20 menit lagi aku sampe. Tong protes!" (jangan protes!) telpon dimatikan. Ah, kenapa aku merasa akan terjadi semacam bencana alam nanti. Mungkin karena pikiranku sedang tidak fokus.

Merdi menghampiriku sementara kulihat Awang sedang menerima telpon. Dari gelagatnya sepertinya itu telpon dari mbak Yara. Merdi duduk di sebelahku dan melihatku seperti sedang melihat ke dalam meja kaca. Diam namun sangat diperhatikan baik-baik. Yang tidak diam hanya aku, karena masih tidak bisa berhenti bersin.

"Jems, kalo gak kuat gak papah kok. Istirahat dulu aja. Entar bagian lu diambil sama Sisil." katanya sambil sedikit mengangkat bahu, kaget karena aku bersin lagi.

"Gua cuma butuh berhenti bersin Mer, HASYUUU!!"

"Gua ambilin air anget deh ya?"

"Gak u...HASYUUU!!! Cekson aja lu sana."

Merdi menggumamkan 'cepat sembuh' lalu kembali ke atas panggung. Paling tidak, belakangan aku jadi tidak terlalu memikirkan Euis karena terlalu pusing akibat flu ini. Cici kuundang untuk datang ke diskusi ini juga, katanya akan diusahakan. Dan mungkin kalau si teteh sedang di sini, pasti ia akan turut serta juga.

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang