Pintu ruang latihan terbuka lebar sehingga suara apapun yang ada di dalam ruangan bisa terdengar dengan jelas. Bahkan dari lorong tempatku berjalan sekarang.
Aku mengintip ke dalam ruangan, sudah ada Tito, Bonca, Awang dan Sisil. Tapi tak ada Merdi. Aku melangkah masuk sambil menanggalkan tas sulingku.
"Udah sehat lu Jems? Katanya lu keracunan?" tanya Awang yang hari ini memakai kaos yang robek di sana-sini. Pasti hari ini ia tidak kuliah.
"Untungnya gua masih idup, makasih udah nanya."
"Kalo pengen debus tuh yang elit dikit kali Jems, jangan pake pengembang roti!" celetukan Sisil membuat kami semua tertawa, bahkan aku ikut tertawa.
"Udah stop gak usah bahas-bahas gituan lagi. Latian latiaann!" aku memotong pembicaraan, sengaja. Karena aku terbayang-bayang Euis lagi... Terbayang-bayang dengan reflek aku mencium pipinya...dan ia tertawa kecil seolah senang...dan...
"Merdi belom dateng." Bonca membuyarkan lamunanku. Syukur lah, karena aku sudah hampir kehilangan kesadaran lagi.
"Heh?"
"Merdi mana sih? Di grup juga jarang nongol. Di kampus jarang keliatan." tambah Tito.
"Lah kemaren waktu gua tepar dia ke kostan gua sama Nonik." kataku sambil memutar-mutar bangsiku.
"Hah?? Iya?? Kok dia gak ngajak-ngajak sih??" kata Bonca. Aku mengernyit, kupikir mereka memang tidak berniat menjengukku.
"Nonik yang main cello kan? Merdi jadi sering main sama dia dah." sambung Sisil.
"Dia mau belajar cello kali." ujarku sambil memukul-mukul kendang.
"Itu mah harusnya gua kali yang belajar cello." Sisil mengernyitkan dahi.
Aku mengangguk-anggukkan kepala, betul juga ya. Mungkin ada proyek bersama atau apa, karena setahuku Nonik sering memiliki proyek juga. Tahu-tahu Merdi muncul di depan pintu, mengagetkan kami semua.
"Sori lama, hehehe." ia masuk ke ruangan. Di belakangnya ada Nonik yang melambaikan tangan pada Merdi dan berlalu. Hampir saja si kampret itu aku teriaki. Tapi kalau begitu kami tidak bisa langsung latihan.
"Yaudah yuk latihan yuk." kata Awang sambil beranjak ke belakang kendang. Yang lainnya pun langsung mengikuti dengan bersiap di tempat masing-masing.
***
"Istirahat, entar abis isya latian lagi." kata Awang memberi aba-aba.
Kalau Tito dan Awang sudah pasti langsung keluar untuk merokok. Bonca membeli makanan, apa saja, yang penting bisa dicampur dengan bon cabe. Biasanya Sisil akan pergi ke kantin denganku dan Merdi. Tapi entah kenapa tiba-tiba dia menghilang. Begitu saja dan tanpa ada yang tahu.
"Merdi kemana??" Sisil menjuruskan pandangannya pada setiap sudut ruangan, mencari Merdi dengan kaos hijaunya.
"Udeh ah kantin yuk, kopi kopi." kuseret Sisil dengan cepat.
"Iya bentar." katanya sambil menguncir rambut panjangnya yang hitam berkilau. Dulu ia selalu kami suruh untuk mendaftar menjadi bintang iklan shampoo. Sambil memainkan biola, rebab, atau alat musik gesek lainnya pasti akan lebih menarik. Yah, paling tidak itu menurut kami, teman-temannya.
Kepalaku sudah pusing karena harus menyamakan nada suling dengan nada lagu. Minggu depan kami diminta tampil di sebuah kafe di Jakarta. Setelah mengulik repetoar selama hampir 2 jam, aku merasa sangat yakin kalau aku butuh kopi hitam. Menghilangkan pusing dan penat.
"Eh itu kak JM! Haaiiii kak JM!!" segerombolan mahasiswi baru yang berpapasan denganku dan Sisil lalu heboh menyapaku. Aku tidak enak karena Sisil yang disebelahku malah tidak disapa sama sekali.
"Ehm." aku hanya balas melambaikan tangan saja. Sisil malah menyeringai lebar.
"Banyak fans." komentarnya singkat.
"Apa sih, banyakan juga elu."
"Followers IG lu aja banyak banget."
"Plis itu gak bisa dijadiin standar. Kalo kebanyakan followers gua akun online shop penggemuk badan gimana?"
Sedang sengit-sengitnya aku berdebat dengan Sisil, ekor mataku menangkap wujud yang sepertinya kukenal. Telingaku pun mendengar suara tawa yang khas. Nonik. Dan ketika aku menoleh benar saja, Nonik sedang duduk di kursi lingkar di taman. Sedang tertawa asyik dengan..Merdi.
Sepertinya Sisil tidak menyadari adanya Merdi dan Nonik dalam radius 100m dari kami. Ia memesan nasi kare dengan tenang. Sesekali aku melirik mereka saat menyesap kopiku. Entah lah, sebaiknya kubiarkan saja mereka bersenang-senang.
DRRTT!
Euis .M
Tapi besoknya kamu nonton aku nari ya
balasan dari Euis. Tadi aku sengaja mengajaknya menonton pentasku minggu depan. Rupanya ia juga ada panggung keesokan harinya.
JalaSeta
Kamu nari dimana?
Euis .M
Di gedung Anyelir, hihi
JalaSeta
Lah bete amat itu mah deket kostan -_-
"Cie senyam-senyum" aku mengangkat wajahku, menemukan Sisil yang menggerak-gerakkan kedua alisnya. Entah apa maksudnya.
"Apa dah"
"Yang disono juga senyam-senyum tuh. Eh nggak sih, ketawa-tawa." Sisil mengangkat sedikit dagunya, mengarah kepada Nonik dan Merdi yang masih asik bersenda gurau. Rupanya Sisil sadar.
Senyum kecilku menjadi balasan untuk kata-kata Sisil barusan. Yah paling tidak aku tahu setelah ini Nonik berhutang cerita padaku.
Tanggal publikasi: 27 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 29 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
General FictionAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...