14. Bingung

5.8K 604 9
                                    

"Pulang?" tanyaku pada Euis yang sedang bersiap beranjak pergi, begitu pula teman-temannya.

"Iya, kamu naik apa?"

"Motor begal, biasa. Haha." Euis tersenyum simpul, teringat kejadian malam itu.

"Aku bareng kamu boleh gak?" pertanyaan yang tidak kuduga, kupikir ia ingin pulang berbarengan dengan teman-temannya.

"Boleh, nanti mau aku anter kemana?" kami semua berjalan keluar area foodcourt.

"Kamu lewat mana?" tanyanya balik.

"Santai, aku mah orang bebas."

"Is, bareng gak?" sela gadis kurus berkaos biru dengan behel terpasang rapi di giginya. Sepertinya juru mobilisasi nongkrong-nongkrong mereka malam itu.

"Duluan deh, gua sama temen gua ya."

Euis menghampiri teman-temannya dan memeluk mereka satu persatu. Padahal kami belum mencapai kesepakatan apa-apa soal lewat mana, turun dimana, dan lainnya.

"Yaahh yaudah deh, dadah Euis!" semua temannya langsung pergi menuju parkiran mobil. Semudah itu ya. Kalau itu teman-temanku, pasti akan berpesan padaku untuk berhati-hati dalam mengantarkan Euis dan sebagainya.

"Jems, kamu lewat mana?" pertanyaan Euis memecah lamunanku. Melanjutkan pencarian kesepakatan yang tertunda

"Kamu ke kostan? Aku anterin lah, santai."

"Ih tapi kan lumayan ya!" sergah Euis sambil mengernyitkan dahi.

"Lah kan aku daerah Kuningan ya, masih lewat lah kalo daerah Kebon Sirih doang." aku bersikeras, demi Euis, menelusuri setiap sudut Jakarta pun rela kulakukan.

"Serius gak papah?" Euis menghentikan langkahnya.

"Iya seriuusss!" Euis tersenyum, menggamit lenganku. Kami masuk ke parkiran motor bagaikan sepasang kekasih yang sedang mesra-mesranya. Bisa dikira-kira seberapa senang hatiku dan seberapa kacaunya pikiranku.

Sampai di depan 'motor begal'-ku, aku memberi Euis helm yang tadinya dipakai Sisil. Untungnya ia pulang dengan ojek online. Lalu jaket kulitku juga kuberikan kepada Euis. Dan disambut dengan tatapan bingungnya.

"Kamu mau kedinginan cuma pake baju tipis segitu?" aku tidak mau Euis sampai masuk angin karena kubonceng. Aku cenderung selalu ngebut. Blouse hampir tanpa lengan yang Euis pakai tidak akan cukup untuk melindunginya dari angin malam. Angin malam itu jahat.

"Terus kamu pake apa?" ia menerima jaketku dengan ragu-ragu.

"Santai, kan lengen panjang nih." Euis tak menjawab. Hanya pasrah naik ke atas motorku. Sejenak kami tidak berbicara. Tanpa ada kata-kata. Tahu-tahu aku teringat kalau aku masih ada masalah dengan tugas metodologi kajian penelitian seni-ku. Bisa-bisa aku dihajar lagi oleh mas Wisnu.

"Kenapa Jems?" Euis seolah tahu aku sedang memikirkan sesuatu.

"Duh baru inget ada tugas."

"Hah? Tugas?" deru angin yang lumayan kencang membuat suaraku tidak terdengar jelas.

"Iya, tugas. Bikin metodologi penelitian gitu tapi bingung." kataku sedikit mengeraskan suara.

"Cari metodologinya dulu Jems! Baru sambung-sambungin sama data, analisis deh." ah, kenapa tidak terpikirkan. Aku terlalu biasa praktek, sehingga ketika harus berhubungan dengan teori aku menjadi sangat lemah.

"Datanya udah ada?" tanya Euis saat kami berhenti di lampu merah.

"Udah sih, cuma nyari metode penelitiannya susah."

"Susah karena gak ada yang metodenya sesuai yang kamu mau kan? Makanya mending dibalik. Metode dulu baru cari topik. Kalo kepepet sih gitu. Toh data kan udah ada." jelas Euis. Aku baru ingat, sebagai anak jurusan Hukum ia pasti terbiasa dengan hal-hal semacam ini.

"Sumpah gak kepikiran." motor kembali kupacu. Lampu sudah berubah warna menjadi hijau.

"Kamu biasa praktek sih." ia mengalungkan lengannya di perutku lagi, aku terdiam. Rasanya helmku semakin panas. Orang kalo dibonceng pada gini semua apa ya.

Akhirnya kami terdiam. Aku seolah menikmati pelukan Euis di perutku walau tanganku sendiri rasanya mendingin. Padahal aku memakai sarung tangan. Sesekali aku menengok, memastikan ia tidak tertidur. Bahaya kalau ia sampai tertidur. Ia selalu tersenyum setiap aku menengok ke belakang. Tapi tidak ada percakapan apa-apa.

"Buset Jems, setengah jam kurang." Euis memberikan helm kepadaku. Motorku sudah terparkir di depan kostannya.

"Yoih. Kemaren mau daftar Gojek tapi males. Hahaha." aku mencantolkan helm tersebut di jaring yang selalu kubawa-bawa di dalam tas. Di dalam tasku banyak benda aneh seperti itu. Berjaga-jaga saja kalau misalnya butuh.

"Udah pulang gih, kemaleman entar." ia setengah mengusirku, tapi tetap terlihat manis.

"Oke, pamit ya." aku memutar motorku dengan sok cool.

"Jems!" aku menghentikan motor, Euis berlari menghampiri.

"Love you." jantungku marathon kesana-kemari setelah Euis mencium helmku dari depan, lagi, dan meninggalkanku begitu saja. Ehh...


***

Euis .M

Jaket kamu ketinggalan, ini masih kupake :(


Chat Euis masuk ke handphoneku. Setengahnya aku berjoget senang saat membacanya. Terima kasih semestaaaa, ada kesempatan buat ketemu dia lagiiiiii.

JalaSeta

Hahaha gak papah kok. Santai

Btw, makasih ya udah dibantu yang soal metodologi tadi


Balasku dalam dua chat berturut-turut. Mukaku kembali merah rasanya. Bahkan tanganku gemetar saat membalas chatnya.

Euis .M

Sama-sama Jems! Kalo ada bingung -bingung lagi bilang ya, aku bantu


BLUSH! Mukaku bagai disembur oleh nafas api Igneel, bapaknya Natsu Dragneel yang berupa naga di serial Fairy Tail. Entah kenapa membaca kalimat terakhirnya...membuatku...sangat berdebar-debar... Kalimatnya ambigu.....

Aku bingung soal isi hatimu, gimana dong?


Tanggal publikasi: 23 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 29 Agustus 2018

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang