Ketika Euis bilang waktu hanya lah pembatas, aku mulai membenarkan kata-katanya sekarang. Tidak terasa sudah hampir sebulan ia ada di Australia. Kuliahku sudah mulai lagi, bahkan aku sudah sempat pulang ke Sumedang seminggu lamanya.
Semester baru, semangat baru.
Katanya.
Tapi awal menjejakkan kaki ke kampus lagi rasanya biasa saja. Dan kucoba untuk merasa biasa saja. Memang kadang aku merindu Euis sampai tidak bisa tidur, hanya bisa memandangi foto-foto yang ia kirimkan untukku. Tapi mendengar suaranya dan melihat wajahnya via video call cukup membunuh sedikit rasa rindu yang mengurat nadi.
Euis selalu berada di kamarnya ketika melakukan video call. Kamarnya yang katanya mirip barak anti kerusuhan lebih mirip apartemen mewah buatku. Apartemen mewah dengan dinding tebal. Dan setiap melakukan video call, teman sekamarnya yang berasal dari Jepang, Rusia dan Lampung kadang-kadang ikut menimbrung. Euis selalu menceritakanku pada mereka sebagai partner seprofesinya. Yang sama-sama menyenangi kesenian tradisional.
Lucunya sekarang aku malah berteman baik dengan Mira. Anggap lah begitu.
Dia sempat menangis karena omelanku waktu itu, kaget karena dibentak katanya. Dan membuatku merasa bersalah setengah mati sampai akhirnya aku mentraktirnya minum kopi. Di kedai kopi kecil itu lah banyak cerita yang kemudian mengalir. Banyaknya cerita tentang Euis tentu saja.
"Pacar kamu cantik ih Jal, seneng deh ngeliatinnya." katanya sambil melihat-lihat foto-foto di IG Euis dan beberapa foto Euis di IG-ku.
"Ya gitu lah." aku menyesap kopi hitamku yang terlanjur diberi gula oleh baristanya. Sial. Padahal sudah kubilang tidak usah pakai gula. Tapi kopinya enak. Dilematis.
"Kalo kamu mau selingkuh aku rela ikhlas sepenuh hati kok buat jadi selingkuhanmu!" Mira menatapku penuh harap.
"Lu gak kenal kata nyerah ya...." jawabku cuek sambil membuang muka.
"Ah Jala......biarkan aku menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku....."
Dan waktu itu bisa saja Mira kubuat menangis lagi atas ucapannya yang semakin nekat dan kacau itu. Untungnya ia langsung terdiam karena kupelototi habis-habisan. Dan untungnya juga kampus kami berbeda. Kalau satu kampus, bisa-bisa aku kena darah tinggi karena marah-marah terus.
Tapi sejak saat itu kami jadi sering bertemu secara tidak sengaja. Entah di jalan, atau di tempatku manggung dengan Bonca dan kawan-kawan, di mall, dan lainnya. Walau sebetulnya aku curiga Mira memiliki kemampuan mendeteksi keberadaan seseorang, tepatnya keberadaanku.
Jangan ditanya betapa heboh dan rempongnya dia setiap bertemu denganku. Tapi silahkan dikira-kira betapa pengangnya kupingku karena harus mendengar semua ocehannya. Heuheu.
Lucunya lagi Euis malah tertawa terbahak-bahak saat kuceritakan tentang Mira. Tadinya kupikir ia akan ngambek, marah, dendam, lalu mencari suku Aborigin terdekat untuk menyantetku. Tapi yang ia lakukan malah tertawa. Dan tawanya sangat ikhlas bagai sedang menonton pertunjukan komedi.
Padahal aku sampai puasa senin-kamis demi menyiapkan mental untuk menceritakan semua tentang Mira ke Euis.
Hidup ini konyol.
Tapi aku lebih konyol.
Yakin.
"Fix banget deh Jems kamu harus ngenalin dia ke aku kalo aku udah pulang!! Hahaha!" kata Euis bersemangat dengan suara sedikit terputus-putus, efek sinyal yang naik turun.
Aku pusing membayangkan kalau mereka berdua bertemu.
Pusingnya karena tidak terbayang akan seperti apa jadinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/78345631-288-k491385.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Ficção GeralAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...