Bab 1: Giok-bi-jin

6.3K 54 1
                                    

Beberapa baris tulisan huruf-huruf indah yang masih basah tintanya itu tertera di atas selembar kertas yang dibentangkan di atas sebuah meja batu marmer. Sinar lilin menyorot dari sebuah lampion yang dibungkus kain paris merah, membuat kertas berwarna biru muda itu terlihat berwarna ungu muda tertimpa cahaya merah dari lampion, kelihatan aneh dan janggal. Tulisan yang indah dan berseni itu jadi tampak lebih menarik dan merasuk hati. Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan pengirimnya, namun mengandung bau dupa wangi, bau dupa yang mengandung seni, dari tulisan surat bukan surat, syair bukan syair itu, siapa pun susah menduga siapakah orang yang mengirimkan surat ini.

Yang menerima surat ini adalah Kim Pian-hoa, anak seorang hartawan terkenal di Pak-khia. Ia sedang duduk di pinggir meja. Raut mukanya yang putih halus dan selalu terpelihara itu terlihat berkerut-kerut seakan mendadak kesakitan lantaran terbacok senjata tajam. Kedua biji matanya melotot mengawasi surat itu, seolah baru saja menerima surat panggilan dari Giam-lo-ong (Raja Akhirat).

Dalam ruang pendopo yang besar itu hadir tiga orang lagi. Seorang adalah laki-laki tua berjubah sutera, berperawakan kekar dan bersikap gagah, namun rambutnya sudah beruban. Ia sedang menggendong kedua tangannya mondar-mandir di ruangan itu. Entah sudah berapa lama atau berapa kali ia berjalan pulang-pergi, seperti tidak merasa letih. Umpama ia berjalan lurus, mungkin jarak yang telah ditempuhnya tidak kurang dari jarak antara Pak-khia dan Thio-kah-gou.

Seorang lagi adalah laki-laki berpakaian serba hitam dengan tulang pipi yang menonjol, bermata elang dan bersikap dingin tenang, tapi terlihat jelas wataknya yang keji dan culas. Ia duduk di samping Kim Pian-hoa. Kedua tangannya sedang mengelus-elus sepasang potlot baja yang ditaruh di atas meja. Jari-jari tangannya kurus kering dan panjang, sendi-sendi tulangnya tampak menonjol seperti rangka besi.

Raut wajah kedua orang ini kaku serius, sepasang mata yang jeli selalu berputar mengawasi sekelilingnya, dari pintu ke arah jendela, dari jendela balik ke arah pintu, begitu tak putus-putusnya dengan perhatian penuh.

Selain kedua orang ini, masih ada seorang tua berkepala gundul berpakaian sederhana, tubuhnya kecil pendek dan kurus, ia duduk di pojok seakan bersemedi dengan memejamkan mata. Tiada tanda istimewa di badan orang ini, tapi kedua daun kupingnya entah kenapa tidak tampak di tempatnya, namun digantikan oleh kuping palsu berwarna putih, entah terbuat dari apa.

Laki-laki tua berjubah sutera menghampiri meja, dijemputnya kertas bertulisan itu, katanya dingin: "Ini terhitung apa? Undangan? Tanda hutang? Dengan mengandalkan secarik kertas tak berharga seperti ini, dengan gampang dia hendak mengambil Giok-bi-jin, satu dari empat benda mestika di kota raja....." Lalu ia menggebrak meja dengan keras, bentaknya: "Coh Liu-hiang, oh Coh Liu-hiang. Jangan kau memandang remeh para enghiong di kota raja."

Kim Pian-hoa bersungut-sungut, katanya dengan gemetar dan sangsi: "Kenyataannya dengan hanya mengandalkan secarik kertas yang sama, entah sudah berapa banyak benda mestika yang berhasil dicurinya. Kalau dia mengatakan jam sekian hendak mengambil sesuatu barang, siapa pun jangan harap bisa menggagalkan usahanya."

"Oh, apa ya?" sela laki-laki baju hitam dengan nada dingin.

Kim Pian-hoa menghela nafas, ujarnya: "Bulan lalu Khu Sian-ho dari Jalan Gulung Tirai juga menerima secarik kertas yang sama, katanya hendak menjemput Kim-liong-pwe milik Khu-ya warisan leluhurnya. Bukan saja Sian-ho menyimpannya di sebuah kamar rahasia, malah mengundang dua orang Si-wi dari istana raja pula, Siang-ciang-hoan-thian (Sepasang Tangan Membalik Langit) Cui Cu-ho dan Bwe-hoa-kiam Pui Hoan untuk berjaga di luar pintu rahasia. Penjagaan sedemikian rapat, seumpama lalat pun tidak akan dapat lolos. Namun setelah lewat jam yang dijanjikan, saat mereka membuka pintu kamar..... aaaiii, Kim-liong-pwe tetap saja hilang."

Laki-laki baju hitam tertawa dingin, jengeknya, "Ban-lo-piauthau bukanlah Cui Cu-ho, aku Seng-si-poan bukan Pui Hoan, apalagi.... " ia melirik laki-laki tua gundul di pojok, lalu menyambung dengan perlahan, "Eng-locianpwe yang paling ditakuti oleh kalangan maling dan pencuri di seluruh dunia pun hadir di sini, kami bertiga kalau tidak mampu membekuk Coh Liu-hiang, pasti tidak ada lagi orang yang mampu."

Serial Pendekar Harum  - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang