Bab 1: Kehidupan di Atas Air

1.2K 12 0
                                    

Senja, sang surya yang hampir terbenam masih menyinari air sungai yang mendampar. Di teluk sungai itu berlabuh lima kapal layar, di atas kapal tampak mengepul asap dapur sehingga suasana mirip sebuah perkampungan kecil di atas sungai.

Di antara kapal-kapal layar itu ada sebuah yang bukan cuma lantaran kapal ini masih baru, tapi karena pada jendela kapal itu terpasang kerai lidi yang setengah tergulung hingga sinar matahari senja itu dapat menembus ke dalam kabin. tertampak seorang nenek beruban duduk tenang di dalam kabin.

Air muka si nenek tiada menampilkan sesuatu perasaan, tetapi berduduk dengan tenang dan tidak bergerak. Dipandang dan jauh kelihatannya seperti patung.

Perawakannya kurus kecil, tapi kelihatan keren. Siapa pun kalau berhadapan dengannya. bicara saja pasti tak berani keras.

Nenek itu sudah cukup menarik perhatian orang, apalagi di sampingnya ada dua anak perempuan yang sangat cantik, seorang lemah lembut dan selalu menundukkan kepala seperti malu melihat orang yang tak dikenalnya. Seorang lagi tampak gagah, jika orang lain memandangnya sekejap, sedikitnya dia akan melototi orang dua kejap.

Kapal yang baru, nenek yang buruk rupa, gadis yang cantik... semua mi sangat menonjol. Dari jauh Coh Liu-hiang sudah dapai melihatnya.

Waktu ia ingin lebih mendekat lagi, cepat Oh Thi-hoa menariknya sambil berkata. "Apakah kau pernah melihat Koh-bwe Taysu?"

"Empat tahun yang lalu pernah kulihat dia satu kali," jawab Coh Liu-hiang. "Waktu itu aku mengiringi Thiam-ji (salah seorang pacarnya) pesiar ke Hoa-san dan kulihat dari kejauhan."

"Dan kau masih ingat mukanya?"

"Kan sudah kukatakan sendiri, barang siapa pernah kulihat satu kali, selama hidup pasti takkan lupa " kata Coh Liu-hiang.

"Jika begitu, coba kau pandang lagi lebih cermat, yang duduk di haluan kapal itu dia atau bukan?"

Coh Liu-hiang meraba hidung, katanya sambil menyengir, "Wah, aku menjadi sangsi terhadap mataku sendiri."

"Hidungmu ada cirinya, apa sekarang matamu juga ada cirinya? Jika betul demikian, kabar baik juga bagiku." kata Oh Thi-hoa berseloroh demi melihat Coh Liu-hiang hanya memandang saja ke arah kapal baru itu tanpa memberi komentar apa-apa.

Bahwa hidung Coh Liu-hiang memang ciri, yakni selalu buntu seperti orang pilek, hal ini selalu menjadi bulan-bulanan Oh Thi-hoa bilamana mereka saling mencemoohkan. Sebab bagi Oh Thi-hoa sedikitnya ia merasa dirinya masih ada sesuatu yang lebih unggul daripada Coh Liu-hiang.

Coh Liu-hiang tampak termenung, lalu katanya. "Kukira Koh-bwe-Taysu belum pasti benar-benar Hoan-siok, bisa jadi dia cuma ingin mengelabui mata telinga orang saja."

"Untuk apa mengelabui mata telinga orang?" tanya Oh Thi hoa.

"Bahwa Koh-bwe Taysu turun gunung, ini jelas karena ada urusan penting. Padahal kau pun tahu watak Koh-bwe Taysu, selama hidup pernahkah dia takut kepada siapa pun? Dia tidak seperti kau, seperti malu dilihat orang,"

Coh Liu-hiang tidak dapat bicara lagi. Dia pandang pula kapal baru itu, dilihatnya gadis jelita di samping si nenek tadi.

Hah, tidak tersangka Ko A-lam tetap seperti dulu, belum tambah tua, malahan kelihatan lebih muda, agaknya orang yang selalu riang gembira memang lebih awet muda."

"Dalam pandanganku, hakikatnya dia mirip seorang nenek. kukira matamu benar-benar sudah cacat," ujar Oh Thi-hoa.

"Tapi hidungku sekarang menjadi tajam rupanya, sebab terendus olehku ada bau cuka di sini," demikian Coh Liu-hiang balas berolok-olok.

Serial Pendekar Harum  - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang