Bab 16: Meloloskan Diri

1.3K 17 0
                                    

Ternyata Ki Bu-yong tidak hiraukan pertanyaannya, segera ia pimpin di depan, belok ke timur menikung ke barat, tiba-tiba menjurus ke utara, tahu-tahu sudah menuju ke selatan, langkahnya enteng dan gampang saja seperti berjalan di lapangan luas, sedikitpun tidak nampak dimana letak bahayanya.

Tapi Coh Liu hiang cukup tahu bila mereka tidak ditunjukkan jalannya, umpama setahun lamanya, mungkin sampai jiwamu mendekati ajal, kau akan tetap berada dalam lingkungan tempat-tempat ini juga.

Dari tengah-tengah hembusan angin yang membawa taburan pasir kuning itu, tiba-tiba muncul bayangan beberapa orang, agaknya mereka sedang membawa sapu dan menyapu tanah, gerak-gerik mereka sedemikian lambatnya, namun setiap gerakan sapu mereka sedemikian teratur pula, selintas pandang mereka tak lebih adalah mayat-mayat hidup, seakan-akan sejak jaman dulu kala, mereka sudah bekerja disini, terus menyapu tanah berpasir sampai dunia kiamat.

Setelah mereka beranjak lebih dekat, pandangan Coh Liu hiang lebih jelas, tampak budak-budak mayat hidup ini, meski rambutnya awut-awutan dan pakaian kumal, tapi tiada satupun diantara mereka yang tak berparas ganteng dan tampan. Cuma raut muka dan sorot mata mereka menampilkan warna yang beku kaku, sorot matanya guram dan kehilangan sinar kehidupan, agaknya bukan saja sudah melupakan asal usul dirinya bahwa mereka itu adalah manusia.

Namun Coh Liu hiang cukup tahu, laki-laki tampan dan ganteng seperti mereka-mereka ini dahulu kala tentu mereka mempunyai lembaran hidup masing-masing yang cemerlang dan sukses, mereka mempunyai kehidupan yang bahagia, senang punya gengsi dan pamor yang tinggi pula.

Tapi sekarang mereka justru sudah beku sama sekali, tapi yang jelas pasti masih memiliki banyak orang yang tidak akan melupakan mereka, orang lain sedang merindukan kedatangannya, sedang meneteskan air mata dengan pilu. Tiba-tiba Coh Liu hiang merasa hatinya amat tertekan dan batinpun ikut prihatin.

Manusia jikalau pada memiliki watak welas asih dan tahu kasihan terhadap sesamanya yang sedang ditimpa kemalangan, masakah dia setimpal dipandang sebagai orang gagah, seorang pendekar? Tapi orang-orang ini justru terus menyapu pasir, terus menyapu takkan henti-hentinya, seolah-olah mereka hidup untuk menyapu pasir, menyapu pasir untuk hidup.

Tak tertahan Coh Liu hiang segera menghampiri orang terdekat lalu menepuk pundaknya katanya "Saudara kenapa tidak berhenti istirahat dulu?"

Orang itu angkat kepala dengan pandangan kosong hambar dia awasi Coh Liu Hiang, cepat sekali kepalanya sudah tertunduk pula, sahutnya "Tidak perlu istirahat!" kembali tangannya bekerja menyapu pasir.
"Saudara ini apa kau memang senang menyapu?" tanya Coh Liu hiang tertawa.
"Ya, senang!" sahut orang itu pula tanpa angkat kepala.
Coh Liu hiang tertegun, katanya menghela nafas "Tapi pasir di sini, selamanya takkan bisa disapu habis!"
"Yang ku sapu bukan pasir lho!" tiba...tiba... kata orang itu.
"Lalu apa yang kau sapu?" tanya Coh Liu hiang.
"Tulang-belulang orang mati!" sahut orang itu setelah berpikir sebentar.

"Tapi disini tiada orang itu, apa lagi tulang belulang mereka."
Kembali orang itu angkat kepala mengawasi dirinya, tiba-tiba tersimpul senyuman di raut mukanya, senyuman yang mengerikan katanya pelan-pelan "Walau sekarang tiada, sebentar akan banyak tercecer di sini."

Entah kenapa, sekonyong-konyong terasa segulung hawa dingin timbul dalam benak Coh Liu hiang, sebetulnya banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan kepada orang ini, menanyakan siapakah dia sebenarnya?

Kenapa bisa berubah begini rupa? Tapi mendadak ia sadar hakikatnya tidak berguna dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini. Karena dari bayangan orang ini, seolah-olah diapun ada melihat bayangan Ciok Tho, kecuali bentuk muka dan perawakannya yang berbeda, apa pula bedanya kelakuan orang ini dengan Ciok Tho? Mereka sudah lupa masa silam, lupa segalanya, bahwa badan kasar mereka masih utuh, namun jiwa mereka sebetulnya sudah mati, mereka tidak lebih cuma mayat-mayat yang masih hidup belaka. Karena mereka sudah mempersembahkan jiwa raga mereka kepada Ciok koan im.

Serial Pendekar Harum  - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang