Bab 10: Jalan Rahasia Lain

1.5K 18 0
                                    

Di sebelah biara pemujaan untuk dewa bumi terdapat sebuah petak rumah persegi, didalamnya banyak terdapat meja kursi, kiranya itulah sebuah rumah sekolahan, tapi guru tiada muridpun tentu bubar, tiada satu orangpun didalam ruang kelas. Tapi sinar api terpasang terang benderang, api lilin bergoyang gontai tertiup angin, kelihatannya menjadi seram.

Waktu Coh Liu-hiang mengejar sampai di sini, bayangan hitam itu tiba-tiba berhenti.

Orang itu ternyata adalah seorang kakek kurus kering, rambutnya sudah ubanan seluruhnya namun badannya masih kelihatan sehat dan kuat, berdiri ditengah gelap seperti sebatang tongkat bambu. 

Tiba-tiba dia membalik badan berhadapan dengan Coh Liu-hiang dengan tertawa: "Ginkang Maling Romantis memang tak bernama kosong, tiada bandingannya dikolong langit."

"Ah, Cianpwe terlalu memuji." Coh Liu-hiang merendahkan diri. Disaat bicara ini dia sudah perhatikan orang tua dihadapannya ini katanya pula dengan tertawa: "Dalam kolong langit ini, bila ada yang tak dapat kukejar kecuali Ban-li-tok-hing Cay locianpwe pasti tiada orang lain, justru cianpwe malam ini membuat wanpwe terbuka matanya."

Orang tua itu gelak-gelak ujarnya: "Mendengar pujian Maling Romantis, Losiu jadi merasa berkecil hati, sebetulnya bukan Losiu sengaja hendak pamer kepandaian, bahwa Losiu memancing Maling Romantis ke tempat ini, karena didalam hotel itu terdapat beberapa kurcaci yang menyebalkan, kukira kurang leluasa bila bicara di sana."

Banyak orang berpendapat orang yang usianya semakin menanjak tua semakin sungkan dan suka merendah hati, hakekatnya bila jiwa seseorang semakin tua, dia semakin tidak mau mengalah malah sebaliknya suka mendengar puji sanjung orang lain akan kebolehan dirinya. Apalagi pujian yang diucapkan oleh seseorang yang kira-kira setingkat dirinya, maka rasanya lebih syuur, tiada orang yang tak suka mendengar pujian semacam ini dalam dunia ini. Jikalau Cay Tok-hing tidak ingin supaya Coh Liu-hiang tahu akan tingkat kepandaiannya kenapa dia tadi tidak mau jalan pelan-pelan saja?

Setelah tertawa, lekas Coh Liu-hiang sudah mengerut kening, katanya: "Orang-orang kurcaci yang dimaksud Cianpwe, bukanlah...."

"Yaitu kawanan bandit yang tinggal di kamar sebelah kalian itu, sebetulnya tujuan Losiu menguntit jejak mereka, sehingga aku sampai di sini, sungguh tak kira di sini pula aku bisa jumpa dengan Maling Romantis."

"Kalau demikian Wanpwe harus berterima kasih kepada mereka malah, entah apa sih kerja mereka sebenarnya? Sampai Cianpwe susah harus menguntit jejak mereka?"

Cay Tong hing tertawa-tawa, ujarnya: "Tua bangka seperti aku ini paling takut kesepian, soalnya mereka kuatir jiwanya tercabut oleh raja akhirat disaat tiada orang lain, demikian juga aku tua bangka ini, maka setiap hari selalu ikut mencampuri urusan orang lain." sampai di sini dia menarik muka, katanya lebih lanjut: "Mereka para kurcaci itu adalah Bu-bing-siau-cut dari Bulim, tapi belakangan ini mereka melakukan perbuatan yang terkutuk, aku tua bangka ini bersumpah hendak menghabisi jiwa mereka." Sebelum orang menyebutkan perbuatan terkutuk apa yang dilakukan orang-orang itu, Coh Liu-hiang pun tidak enak bertanya, maklumlah Coh Liu-hiang selamanya tidak suka cerewet.

"Sekarang Losiu sudah menemukan jejak mereka." demikian tutur Cay Tok-hing lebih lanjut. "Namun belum sempat turun tangan, tentunya Maling Romantis merasa heran?"

"Ya, memangnya aku rada bingung."

"Itulah karena mereka seperti sudah picak matanya karena ketakutan sehingga pandangan mata dikelabui setan, dunia selebar ini, mereka justru lari ke tempat ini, tentunya kau tahu di dataran ini tak leluasa menghabisi jiwa orang."

"Memang, Wanpwe juga ada dengar, Cui-bo-im-ki melarang orang membunuh sesamanya di daerah seratus li sekitar Sin-cui-kiong, bila siapa berani melanggar undang-undang ini, maka jiwanya harus dihabisi juga."

Serial Pendekar Harum  - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang