Rerumputan berterbangan tersapu oleh hentakan kaki kuda yang begitu keras. Bersamaan dengan itu terlihat kedua remaja sedang asik berbalap kuda. Keduanya tampak tidak ada yang ingin mengalah. Sebuah panah telah tertancap pada pohon apel yang terletak di ladang Baron Preaux, yang merupakan titik awal dan akhir balapan kuda.
"Sekali lagi kumohon, Alee."
"Tidak. Ini sudah ketiga kalinya aku menancapkan panahku di pohon ini. Akui saja kekalahanmu."
"Benar-benar tidak ada kesempatan lagi bagiku?" tanya Eric dengan memasang mata memelas layaknya seekor kucing yang meminta makan pada majikannya.
"Apa kau tidak malu?" bentak Aleenor yang sudah lelah meladeni Eric.
Eric melengkungkan alisnya, ia tidak berani mengajukan permintaannya lagi. Melihat Aleenor yang marah padanya menandakan gadis itu sudah tidak bisa diajak bermain lagi. Keduanya memang sering beradu balap kuda. Dan hasilnya selalu sama, Aleenor yang selalu keluar menjadi pemenangnya. Eric paham sejak awal dirinya tidak handal dalam sesuatu yang berkaitan dengan kecepatan. Meski demikian, ia kerap menantang Aleenor beradu balap. Hanya karena satu alasan untuk melihat senyuman tulus Aleenor yang jarang ditampakkan gadis itu selain ketika berkuda.
"Sesuai kesepakatan, aku pergi dulu." Aleenor membalikkan kudanya, kemudian berlalu pulang meninggalkan Eric.
"Sial." ketus Eric melihat Aleenor semakin menjauh darinya.
Eric tak bergeming dari tempatnya. Ia menyesali keputusannya karena tak mengambil jalan pintas mengetahui dirinya tidak bisa mengalahkan Aleenor. Dengan berat hati, Eric menarik kudanya berniat untuk kembali ke rumahnya. Jika saja, letak rumahnya searah dengan rumah Aleenor mungkin saat ini Eric masih mempunyai kesempatan untuk mengatakannya.
"Aleenor. Tunggu, berhenti," teriak Eric setelah memutuskan untuk membalikkan kudanya dan mengejar Aleenor. Ia semakin mempercepat kudanya, "Hakkk!"
Menyadari Eric mengejarnya di belakang, Aleenor menarik tali kekang kuda secara paksa seketika kudanya merintih dan berhenti.
"Ada apa lagi, Eric? Bukankah kau sudah kalah?" tanya Aleenor dengan malas. Entah kenapa hari ini Eric bertingkah lebih menyebalkan dari biasanya.
Eric meremas tali kudanya, matanya tidak lepas dari manik hazel gadis di depannya. Batinnya terus menyerukan untuk mengatakannya sekarang. Sekilas Eric mengambil nafas panjang.
Eric berkata, "Ikutlah denganku ke Lonburg." Jika biasanya Eric selalu tampak menggoda Aleenor, tidak untuk saat ini. Kali ini pemuda itu serius. Aleenor bisa mengerti dari sorot mata biru Eric.
"Aku tidak tertarik," balas Aleenor.
Aleenor lalu kembali menghentakan tali kekang kudanya. Secepat mungkin dia ingin menjauh dari Eric sebelum pembicaraan itu semakin serius. Eric tidak terima diabaikan begitu saja, ia lantas menjalankan kudanya menyusul Aleenor. Lagi, keduanya tampak sedang beradu balap. Eric tahu tidak akan mudah untuknya mengejar Aleenor. Apa boleh buat, hanya ini kesempatan yang tersisa untuknya. Eric memutar kudanya menuju perbukitan.
Aleenor menoleh ke belakang. Ia kira Eric akan membuntutinya hingga ke manornya. Sepertinya lelaki itu sudah menyerah kini. Aleenor memelankan kudanya mengetahui Eric sudah tidak mengejarnya.
Brukkk
Aleenor segera menarik tali kekang kudanya dengan cepat mendapati Eric terjungkal di depannya kini. Lelaki itu sangat ceroboh hingga dirinya terjatuh dari kuda.
"Eric, kau tidak apa?" tanya Aleenor seraya turun dari kudanya secepat mungkin menghampiri Eric.
"Haruskah aku terluka terlebih dahulu untuk membuatmu bicara padaku? Come on, Aleenor. Tubuh berharga ku ini tidak akan bertahan lama jika kau terus bersikap seperti ini padaku," Eric berkata dengan nada menggoda. "Bagaimana jika wajahku terluka dan gadis-gadis mulai menjauh dariku, apa kau mau bertanggungjawab untuk itu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
A Lady in Armor
Ficción históricaMengurus hewan ternak, mencukur bulu domba, dan menjual-belikan hasil ladang sudah menjadi keseharian Aleenor Preaux, seorang Lady yang juga putri pemilik ladang tempatnya bekerja. Perlahan hidupnya mulai berubah berawal dari sahabatnya, Eric Rochef...