Sekitar enam ekor kuda berjejer di depan gubuk tua yang berada di tengah hutan.
"Aron, kau membuatku menunggu lama," ucap lelaki yang sudah berada di gubuk sedari tadi.
"Maafkan saya, my lord. Saya akan menerima hukuman apapun," balas pria dewasa yang saat ini berlutut bersama lima orang yang datang bersamaan dengannya dihadapan lelaki itu.
"Aku tidak punya waktu untuk menghukum kalian. Bagaimana tugas yang kuberikan tadi?"
"Semuanya seperti dugaan anda, my lord. Wilayah ini memiliki semuanya," ucap pria bernama Aron yang baru datang ke gubuk itu.
"Baiklah. Aku akan menyerahkannya padamu, Aron," ucap lelaki itu lalu naik ke salah satu kuda yang berada di depan gubuk itu. Aron melihat sesuatu bercahaya di lantai gubuk itu. Aron berjalan menghampiri sesuatu yang ternyata adalah sebuah kalung lalu mengambilnya.
"My lord, apa ini milik anda?" tanya Aron, menunjukkan kalung pada lelaki itu.
Lelaki itu menghampiri Aron dan melihat kalung itu. "Sepertinya ini milik gadis desa tadi," gumam lelaki itu, ia sedikit ragu untuk membuang kalung itu. Lelaki itu terdiam lalu memasukkan kalung itu ke dalam saku di mantelnya.
***
Beberapa hari berlalu setelah kepindahan keluarga Rochefort. Hari-hari Aleenor berlalu seperti biasanya, ia tetap pergi berladang dan melakukan pekerjaannya di rumah. Bukannya Aleenor tidak merasa kehilangan, setiap hari Eric yang selalu muncul di kepalanya. Kepergian Eric bukan berarti mengurung dirinya di kamar dan memikirkan sahabatnya itu berlarut-larut. Disisi lain, ia pun tidak punya pilihan untuk bersantai di rumah mengingat sikap ayahnya. Aleenor mencoba untuk terlihat tegar dan menyembunyikan kesedihannya. Ada rasa kesal di hatinya mengingat Eric pergi tanpa mengatakan perpisahan apapun padanya. Lelaki itu bahkan berjanji untuk membelikannya makanan. Jujur, gadis itu marah pada sahabatnya. Jika sahabatnya kembali, Aleenor ingin sekali memberi pelajaran pada Eric karena telah membuat hatinya bersedih seperti ini. Walaupun dilubuk hatinya, Aleenor tidak sepenuhnya menyalahkan Eric, ia berkaca pada dirinya. Di saat Eric mengatakan ingin pergi, dirinya tidak berusaha membuat lelaki itu tetap tinggal. Ia bahkan menghilangkan kalung pemberian sahabatnya itu. Sungguh hatinya terasa sesak saat mengetahui kalung itu tidak menempel dilehernya. Aleenor sudah mencarinya di gubuk maupun tempat-tempat yang biasa dilaluinya, tetapi sia-sia kalung itu sudah hilang entah kemana.
Tes... Air mata mengalir membasahi pipi Aleenor. Sudah sekian kalinya gadis itu melamun. Aleenor segera mengusap air matanya melihat domba-domba di depannya masih berbulu tebal.
"My lady, istirahatlah sebentar
Biar wanita tua ini yang mencukur domba-domba ini," ucap wanita pekerja ladang menyahut domba yang akan dicukur Aleenor setelah tidak sengaja melihat putri tuan tanahnya itu meneteskan air mata."Aku baik-baik saja, bibi Hua. Lagipula kau masih memiliki banyak pekerjaan, aku tidak ingin menyusahkanmu."
"Baiklah. Tetapi jika badan nona kurang sehat, istirahat sebentar tidak mengapa," sahut wanita bernama Hua itu.
"Bibi Hua tidak perlu khawatir," ucap Aleenor diiringi dengan senyuman manisnya.
Wanita tua itu menepuk bahu Aleenor sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya. Sebenarnya Hua prihatin dengan Aleenor. Gadis itu merupakan putri seorang Baron, tetapi disini ia tidak berbeda dari pekerja ladang lainnya yang setara budak belian. Aleenor seharusnya bermain dan membangun hubungan sosialnya seperti gadis-gadis bangsawan lainnya seumurannya, tidak bekerja serabutan seperti ini. Tidak hanya Hua yang merasakan demikian bahkan para pekerja ladang lainnya. Mereka tidak habis pikir mengapa tuan tanahnya memperlakukan putrinya sedemikian.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Lady in Armor
Исторические романыMengurus hewan ternak, mencukur bulu domba, dan menjual-belikan hasil ladang sudah menjadi keseharian Aleenor Preaux, seorang Lady yang juga putri pemilik ladang tempatnya bekerja. Perlahan hidupnya mulai berubah berawal dari sahabatnya, Eric Rochef...