Aleenor tak bergeming melihat pedang prajurit itu melewatinya. Ia perlahan menoleh ke belakangnya dimana anak lelaki itu berdiri sebelumnya. Sekerjap kakinya seakan tidak kuat menahan beban tubuhnya. Gadis itu tergopoh ke lantai, tangannya menjangkau tubuh anak itu yang sudah terbaringkan tak bernyawa. Dia menyentuh pipi anak itu yang mulai dingin sembari mengusap air mata anak itu. Aleenor tertunduk menangisi anak itu, di bawahnya darah masih mengalir dari dada anak itu. Ingin rasanya Aleenor berteriak, tetapi entah mengapa suaranya tidak ingin keluar.
"Sebentar lagi kau akan bernasib sama dengan anak itu," ucap prajurit yang masih berdiri di dekat Aleenor.
Aleenor kini benar-benar dalam bahaya. Ia berada sangat dekat dengan prajurit itu, terlebih pedangnya juga ikut diambil oleh prajurit itu. Hanya satu jalan keluar yang terlintas di kepalanya yakni berlari tanpa menoleh ke belakang. Meskipun sedikit kemungkinan dirinya bisa keluar dari rumah itu hidup-hidup. Aleenor melirik ke arah pintu, mengira-ngira jaraknya dengan pintu itu. Seketika pedangnya dilempar oleh prajurit itu tepat di pintu.
"Sepertinya kau masih tidak mengerti juga," ucap prajurit itu lalu melanjutkannya, "di medan perang, tidak ada jalan kembali untuk prajurit. Hanya ada tiga pilihan: bertahan hingga terbunuh oleh pasukan musuh, atau melarikan diri dan berakhir terbunuh oleh pasukan sendiri, dan yang terakhir bertahan hingga akhir pertempuran."
Aleenor memanfaatkan celah saat prajurit itu berbicara dengan mundur perlahan. Ia berusaha mendekati pedangnya yang dilempar oleh prajurit itu sebelumnya. Gadis itu terkesiap ketika pedang penuh darah milik prajurit itu sudah berada tepat di depan topeng besi yang dikenakannya. Aleenor mencekal pedang prajurit itu dengan tangannya sebelum pedang itu menembus topeng besi miliknya. Ia bersusah payah menahan pedang itu hingga tangannya penuh dengan darah.
"Kau tidak akan bisa menahannya lebih lama lagi, kecuali jika ingin jemarimu terpotong," ucap prajurit itu.
"Aku tahu, karena itu aku berusaha mengambil pedangku!" seru Aleenor, mengayunkan pedangnya pada prajurit itu setelah berhasil meraihnya.
Prajurit itu menghindar, seketika tangan Aleenor terlepas dari pedang prajurit itu. Gadis itu segera bangkit dan keluar dari rumah itu. Ia berlari sebisanya sembari terkadang berjalan biasa ketika berhadapan dengan gerombolan prajuritnya. Aleenor rasanya ingin melepas semua pelindung besi yang menempel di badannya, namun ditahannya karena lebih aman baginya menyamar sebagai prajurit dengan begitu prajurit-prajurit itu tidak menyerangnya. Aleenor berjalan cepat menuju pintu keluar kota Stokesverg. Sesekali ia menoleh ke belakang mengamati jika prajurit itu mengejarnya. Terlepas darinya, kekacaun masih berlangsung di kota Stokesverg. Para warga berlarian kesana-kemari berusaha bersembunyi dan menghindar dari prajurit yang menyerang tempat mereka. Rumah-rumah mereka sebagian dibakar oleh para prajurit itu. Asap dan bau darah bercampur memenuhi udara di kota Stokesverg. Aleenor terkesiap ketika sampai di jalanan utama kota itu. Jalan itu sudah tidak berupa jalan, melainkan seperti sungai darah. Aleenor berjinjit berusaha menghindari mayat-mayat yang tergeletak di jalanan itu. Ia merasa prihatin dengan nasib penduduk Stokesverg, namun nasibnya juga tidak jauh buruk dari penduduk itu.
"Kau ingin kemana?" tanya salah seorang prajurit sejawatnya yang berada di dekat pintu keluar kota itu.
"Sir Kedrick memerintahkanku untuk berjaga di dinding luar," ucap Aleenor, berbohong.
Sesaat prajurit itu tampak berpikir kemudian membiarkan Aleenor lewat. Aleenor beruntung sempat mendengar nama pemimpin pasukan dari prajurit lainnya sehingga melancarkan kebohongannya. Sesampainya di luar dinding kota itu, Aleenor memutahkan semua isi perutnya. Bau amis darah yang dihirupnya sedari tadi di dalam kota Stokesverg membuatnya tidak kuasa untuk menahan rasa mual di perutnya. Dia mengelap mulutnya menggunakan tangannya kemudian mulai melepaskan pelindung besi dari tubuhnya. Aleenor terkesiap mendengar suara langkah kaki seseorang mendekatinya. Ia perlahan menoleh ke sumber suara itu. Tidak disangkanya prajurit itu mengejarnya hingga keluar kota. Segera dia berlari masuk ke dalam hutan yang berada tidak jauh dari kota Stokesverg. Prajurit itu masih mengejar Aleenor dengan membawa obor sebagai penerangan. Keduanya sama-sama memasuki hutan di tengah gelapnya malam.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Lady in Armor
Historische RomaneMengurus hewan ternak, mencukur bulu domba, dan menjual-belikan hasil ladang sudah menjadi keseharian Aleenor Preaux, seorang Lady yang juga putri pemilik ladang tempatnya bekerja. Perlahan hidupnya mulai berubah berawal dari sahabatnya, Eric Rochef...