Eric bergegas menuju ke tengah hutan dimana terdapat gubuk yang biasa menjadi tempat pelarian Eric dan Aleenor dari rumah.
"Haaak," seru Eric, mempercepat kudanya.
Braakk
Eric membuka pintu gubuk dengan kasar. Dilihatnya Aleenor sedang berdiri di samping jendela. Terlihat kerutan di wajah Eric mulai sirna berganti dengan senyuman tipis.
"Aku tahu kau akan berada disini, Al."
Eric berjalan cepat mendekati Aleenor. Lelaki itu merebahkan tangannya ke tubuh Aleenor. Sementara gadis itu hanya terdiam membiarkan sahabatnya memeluknya tanpa membalas ataupun melepaskan pelukan Eric.
"Kau tidak apa-apa, Ric?" tanya Aleenor. Ia cukup menyadari bahwa sahabatnya sedang mempunyai masalah.
"Tidak, biarkan seperti ini sebentar," ucap Eric.
Eric kemudian berlutut dihadapan Aleenor sembari meraih tangan gadis itu.
"Lady Aleenor, bolehkah aku mencium keningmu?" tanya Eric layaknya seorang gentlement.
Aleenor melepaskan tangannya dari genggaman Eric dan meletakkan tangannya ke dahi Eric.
"Kau tidak demam. Apa kepalamu terbentur sesuatu tadi atau kau salah makan sesuatu?" tanya Aleenor melihat tingkah Eric yang tidak biasa.
"Karena kau tidak memberiku jawaban, aku anggap kau menerima permintaan ku," ucap Eric, segera berdiri dan bersiap mencium Aleenor. Wajah Eric berada sangat dekat dengan Aleenor. Eric memperhatikan wajah sahabatnya itu dengan detail dari dekat. Aleenor menatap mata biru Eric dan merasakan nafas Eric berhembus di depannya.
Deg deg.. jantung Aleenor berdetak lebih cepat. Dalam benaknya, bertanya, Ada apa dengan ku? Tidak, ini bukan saatnya mencemaskan diriku. Lelaki ini yang perlu dipertanyakan tingkahnya saat ini. Mungkin ini hanya permainannya seperti biasa.
Aleenor juga mendekatkan wajahnya pada Eric. Ia kini melihat tepat ke mata biru milik Eric dengan tatapan menantang. Eric terlihat sedikit terkejut dengan respon Aleenor. Dalam hati, ia berkata, Kenapa Alee menatapku seperti itu? Apa dia baru menyadari ketampananku? Mungkinkah dia menyesal kini telah menolak lamaranku?
Aleenor melotot pada Eric lalu berkata dengan nada menantang, "Aku tidak akan kalah beradu tatapan denganmu, Eric."
Sejenak Eric mengedipkan kedua matanya, masih menatap irish Aleenor. Dia mulai mencerna maksud Aleenor. Lelaki itu tertawa lepas hingga tangannya harus menahan perutnya sembari berkata, "Ha-ha-haa. Kau benar-benar menang dalam mengacaukan suasana, Alee. Aku bertaruh tidak ada yang sehebat kau dalam hal ini."
"Kau benar-benar gila, Eric."
Eric menarik tangan Aleenor dan mengecup punggung tangannya, membuat gadis itu membulatkan maniknya.
"Ini hukuman untukmu, karena telah mengataiku seseorang yang gila," ucap Eric menarik ujung bibirnya, menunjukkan senyuman mengejek itu pada Aleenor. Ia lalu berjalan keluar dari gubuk itu. Dalam hatinya, membisikan kata perpisahan pada gadis itu.
Selamat tinggal, Alee. Tidak, sampai jumpa, my dear lady.
Aleenor menyusul Eric keluar gubuk lalu bertanya, "Kapan kau akan pergi ke Lonburg, Eric?"
"Mungkin seminggu lagi," jawab Eric.
Eric saat ini sudah berada di samping kudanya. Ia masih berdiri membelakangi Aleenor, sengaja dilakukannya agar tidak bertatapan dengan gadis itu.
"Baiklah. Kau harus membelikanku dan para pekerja ladang makanan mewah sebelum pergi. Kau bahkan tidak menatapku saat berbicara?" tanya Aleenor dengan nada menekan. Aleenor berjalan mendekati Eric, ia tentu merasa tidak nyaman berbicara dengan seseorang yang memunggunginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Lady in Armor
Historical FictionMengurus hewan ternak, mencukur bulu domba, dan menjual-belikan hasil ladang sudah menjadi keseharian Aleenor Preaux, seorang Lady yang juga putri pemilik ladang tempatnya bekerja. Perlahan hidupnya mulai berubah berawal dari sahabatnya, Eric Rochef...