XXXVIII

3.8K 397 116
                                    

Desa Dunhill

Suara percikan air terdengar setiap kali roda gerobak kayu melintasi jalanan sepi desa Dunhill. Gelap menyelimuti, lampu-lampu lilin yang dipasang di depan rumah-rumah menjadi penerang di sepanjang jalan itu. Sebuah bongkahan batu mengenai roda membuat gerobak itu sedikit tergoncang. Seorang pria dan wanita yang berada di belakang terkaget sesaat kemudian membenarkan posisi duduk mereka.

"Kau tidak apa, Alee?" tanya Zylon.

Aleenor mengagukkan kepala lalu tersenyum sekilas pada Zylon.

"Bertahanlah. Kita akan sampai sebentar lagi."

"Zylon... terimakasih."

Pria tampan itu tersenyum hingga menampilkan lekuk pipinya membuat Aleenor tidak bisa mengalihkan pandangannya. Jujur, dia rindu dengan pemilik mata sayu beserta senyuman tulusnya itu. Tidak lama, gerobak itu berhenti di depan sebuah gang sempit. Zylon kemudian turun lalu mengucapkan terimakasih pada pemilik gerobak itu dan membantu Aleenor turun. Keduanya berjalan menyusuri gang sempit dengan penerangan yang minim. Beberapa kali Aleenor hampir saja terjatuh karena jalanan yang licin dan berlubang, lengkap dengan kubangan air. Bau tidak enak menusuk penciuman Aleenor. Tak sedikit sampah yang berceceran di gang. Aleenor mendekatkan dirinya, berjalan di samping Zylon, dan lelaki itu meresponnya dengan hangat. Zylon mengapit pundak Aleenor, memudahkannya mengawasi Aleenor. Mereka berhenti, Zylon mengambil kuncinya lalu membuka salah satu pintu rumah diantara rumah yang berada di deretan gang sempit itu.

"Masuklah."

Aleenor menatap sekeliling. Ruangan itu tidak luas, namun terlihat bersih dengan perabotan yang sangat minim. Zylon menyuruh Aleenor untuk duduk di satu-satunya kursi yang berada di ruangan itu.

"Minumlah," perintahnya sembari memberikan gelas berisi air hangat pada Aleenor.

Zylon berjongkok di hadapan Aleenor, menatap lekat gadis itu. Tangannya mulai terulur mengelus rambut Aleenor. Sementara Aleenor terdiam menatap kosong lelaki itu. Aleenor terkerjap sesaat ketika Zylon mengangkat tubuhnya dan membawanya ke ruangan sebelah.

"Zylon, apa yang kau lakukan?"

"Pssst.. diamlah."

Zylon melepaskan Aleenor setelah sampai pada kasurnya. Dia membenarkan bantal Aleenor lalu menarik selimut menutupi tubuh Aleenor. Jari telunjuknya seketika menutup mulut Aleenor, ketika gadis itu hendak protes.

"Tidurlah," ucapnya. Wajah Zylon cukup dekat dengan Aleenor hingga nafasnya terasa menerpa kulit Aleenor.

"Maafkan aku, Alee. Sepertinya aku tidak bisa menemanimu malam ini, ada sesuatu yang harus ku urus. Jika saja besok aku belum kembali, kau bisa menggunakan uang yang aku letakkan di bawah kasur ini untuk membeli makanan."

"Kau ingin pergi kemana Zylon?"

"Aku tidak bisa mengatakannya saat ini."

Aleenor memegang tangan Zylon yang mulai menjauh darinya.

"Tidak bisakah kau pergi besok saja jika hari sudah terang?"

Zylon menggelengkan kepala, lalu perlahan melepaskan genggaman Aleenor darinya.

"Aku pergi sebentar. Kau jaga dirimu baik-baik, Alee."

"Jangan pergi, Zylon. Aku takut kau tidak akan kembali."

Zylon menggenggam tangan Aleenor, sesaat dia mengecupnya. "Kau tidak perlu khawatir, aku akan kembali, Alee."

Hening terasa bersamaan dengan suara pintu tertutup. Dalam remang-remang cahaya lilin, Aleenor terdiam merenungkan berbagai kejadian buruk yang menimpanya. Dadanya terasak sesak, air menetes dari pelupuk matanya. Dia sedang bersedih, semua penghinaan terhadap dirinya terukir jelas di kepalanya. Aleenor memejamkan matanya, menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kasar. Kelopak mata berbulu lentiknya mulai terbuka, dia menatap tajam ke depan. Jemarinya mulai mengusap bekas air mata di wajahnya kemudian tangannya terkepal.

A Lady in ArmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang