XIV

10.8K 995 45
                                    

Aleenor menatap mata yang sama dengan mata yang membuat tubuhnya bergetar hanya dengan menatapnya. Ini ketiga kalinya Aleenor bertemu dengan lelaki itu. Seperti pertemuannya sebelumnya, lelaki itu kembali mengancamnya. Lelaki itu adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang hampir menabrak Aleenor dan lelaki yang juga ditemuinya di gubuk desanya. Aleenor mengetahuinya setelah melepas pelindung kepala lelaki itu. Dia tahu menyelamatkan lelaki itu sama saja memberi makan seekor singa dari dekat tanpa pengaman. Bisa saja singa itu jinak padanya atau malah memakannya. Terlepas dari kemungkinan berbahaya itu, Aleenor memilih untuk memberi pertolongan pada lelaki itu. Dia hanya berharap lelaki itu tidak mengingat pertemuan dengan dirinya sebagai wanita mengetahui lelaki itu adalah prajurit yang sama dengannya.

Berbeda dengan Aleenor yang dapat menatap jelas paras tampan di hadapannya, lelaki itu susah payah memfokuskan pandangannya untuk mengenali sosok di dekatnya. Pandangannya masih kabur, dia hanya bisa melihat bayangan samar Aleenor.

"Aku tidak akan mengampunimu jika terjadi sesuatu denganku," ancam lelaki itu lalu tak sadarkan diri menindih tubuh Aleenor.

Aleenor menghela nafas lalu berkata, "Pria ini sama sekali tidak berubah."

Hembusan nafas tak teratur lelaki itu dapat dirasakan Aleenor mengenai pipinya. Ia menatap lekat wajah lelaki yang berjarak sejengkal dengannya. Dia kembali dibuat kagum oleh ketampanan lelaki itu. Aleenor mengedipkan matanya menyadarkan dirinya bahwa lelaki di sampingnya ini sedang sekarat menghadapi maut. Ia segera memindahkan tubuh lelaki itu darinya dan membaringkannya perlahan. Kebanyakan orang yang tergigit ular berbisa berujung dengan kematian karena sangat jarang antibiotik yang dapat menyembuhkan seseorang, tergantung dari kekebalan tubuh yang dimiliki seseorang. Aleenor mengurungkan niatnya untuk melanjutkan mengelap keringat yang membasahi sekujur tubuh lelaki itu. Ia memakai kembali pakaiannya, takut jika tiba-tiba lelaki itu terbangun seperti sebelumnya. Hanya sedikit keringat lelaki itu yang membasahi pakaian Aleenor mengingat hanya wajah dan leher lelaki itu yang baru tersentuhnya. Gadis itu berdiri dan keluar dari pohon itu mencari ranting yang jatuh di sekitarnya untuk menahan perapiannya hingga pagi tiba. Kemudian kembali dan menaruh ranting-ranting yang berhasil didapatkannya pada perapiannya. Aleenor duduk terengkuk di sebelah lelaki itu. Dia berusaha tetap terjaga mengawasi lelaki itu meskipun kepalanya mulai terasa berat. Aleenor menengadahkan telapak tangan kanannya, lukanya sudah tidak mengeluarkan darah meski perih masih terasa.

Beberapa saat berlalu, bulan masih menampakkan cahayanya di langit. Hujan tak kunjung reda menyisakan keheningan di hutan itu. Hanya suara rintikan hujan yang menemani mereka. Aleenor menatap lelaki itu perlahan memperoleh sadarnya. Menyadarinya, dia segera membalikan posisi duduknya membelakangi lelaki itu. Ia tidak ingin lelaki melihat wajahnya dan mengenalinya. Lelaki itu menoleh ke arah Aleenor. Tidak terlintas di pikirannya bahwa dirinya akan diselamatkan oleh seseorang yang ingin dibunuhnya.

"Kenapa," tanya lelaki itu dan kembali bertanya, "Kenapa kau tidak membiarkanku terkapar di tengah hutan itu? Bukankah kau membenciku karena berupaya membunuhmu?"

"Seseorang mengajarkanku untuk tidak melakukan kejahatan pada orang yang berbuat jahat padaku, tetapi berurusan dengan mereka dengan kebaikan dan hati yang pemaaf agar seseorang yang merasa bermusuhan seolah menjadi teman yang setia," ucap Aleenor lalu bertanya pada lelaki itu, "Setelah aku menolongmu, apa kau masih ingin membunuhku?"

Lelaki itu terdiam lalu berkata, "Aku bukan seseorang yang suka berhutang budi pada orang lain. Meski aku tidak membunuhmu, bukan berarti kau terlepas dari hukumanmu karena mencoba lari dari per-"

Lelaki itu tidak sempat melanjutkan perkataannya setelah melihat Aleenor perlahan mulai terbaring di tanah dengan kedua lututnya masih bertaut dengan tangannya. Gadis itu tidak kuasa menahan rasa kantuknya. Sudah hampir semalaman dia tidak mengistirahatkan tubuhnya. Tanpa sadar dia terlelap membiarkan lelaki itu berbicara sendiri.

A Lady in ArmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang