XXXIII

7.5K 667 121
                                    

Angin masih berhembus menerpa pohon-pohon hingga terlihat seperti menari dengan cabangnya. Angin masih bertiup menghantarkan kepergian gadis berambut sepundak yang mulai berjalan meninggalkan seorang lelaki di menara tinggi itu.

Sebelum gadis itu memijak tangga menara itu, lelaki berparas tampan itu mencekal tangannya. Berusaha agar gadis itu tidak meninggalkannya.

"Tunggu," ucapnya.

Aleenor menoleh, menatap mata elang Jaren. Dia mencoba menyingkirkan tangan dengan jari-jari panjang itu darinya.

Jaren melepaskan tangannya, "Tidak apa jika kau tidak tertarik denganku ataupun kemewahan yang ku iming-imingkan. Tetapi, tujuanku membawaku kesini bukan untuk hal itu. Kemarilah!"

Jaren refleks mengulurkan tangannya, berniat menarik Aleenor. Namun, gadis itu terlebih dahulu menghindar membuat Jaren berakhir dengan mengepalkan tangannya sendiri.
Penasaran dengan maksud Jaren membawanya ke menara ini, Aleenor memutuskan untuk menuruti Jaren. Mereka kembali berada di tepi pagar menara itu.

"Kau lihat tepat di luar pagar kota Dundeeg itu ada sebuah hutan lebat," ucap Jaren sembari menunjuk hutan itu.

"Ya," balas Aleenor mengangguk.

"Semua orang yang ingin masuk ke kota Dundeeg harus melewati hutan itu terlebih dahulu."

"Lalu apa masalahnya?"

"Banyak dari mereka yang tertinggal di hutan itu dan tidak pernah kembali. Itulah mengapa hutan itu disebut hutan kematian."

"Mungkinkah banyak hantu yang tinggal di hutan itu?" tanya Aleenor.

Jaren menatap Aleenor dengan menaikkan satu alisnya. "Daripada hantu, bukankah bandit lebih masuk akal untuk tinggal di hutan itu dan merampok ataupun membunuh seseorang."

"Kau benar, my lord."

Jaren kembali melihat hamparan hutan luas itu di luar kota miliknya. "Namun, yang terjadi sebenarnya bukan karena bandit ataupun makhluk tidak terlihat, melainkan karenaku."

"Apa anda yang membunuh mereka?" tanya Aleenor dengan nada tinggi bersiap marah jika Jaren melakukannya.

"Tidak. Mereka mati karena kecerobohan mereka sendiri. Aku sengaja memasang banyak perangkap mematikan di hutan itu jika saja ada yang ingin menyerang kota ku. Karenanya, tidak banyak yang keluar hidup-hidup dari hutan itu kecuali orang-orang tertentu saja."

"Orang-orang tertentu?"

"Para kesatria dan prajuritku serta sebagian warga dundeeg yang paham akan jebakan maut itu. Sebab itu tidak mudah untuk keluar masuk kota ini."

Jaren mengarahkan telunjuknya pada sebuah sungai yang berada di pinggir hutan itu. Dan pandangan Aleenor mengikuti arah yang ditunjuk Jaren.

"Ada apa dengan sungai itu, my lord?"

"Sungai itu adalah jalan keluar satu-satunya agar kau terhindar dari perangkap mematikan yang ada di hutan itu. Di tepi sungai itu ada perahu kayu kecil yang tersembunyi di balik semak-semak yang dapat digunakan untuk menyeberang. Kau bisa saja menunggang kuda untuk menyeberanginya karena sungai itu cukup dangkal. Selanjutnya hanya perlu mengikuti arah aliran sungai itu lalu turun setelah melewati hutan itu. Dengan begitu, kau bisa keluar dari hutan itu tanpa terluka sedikitpun."

"Saya mengerti. Tetapi, mengapa anda memberitahu saya hal itu."

"Karena kau adalah salah satu prajuritku. Mungkin saja kelak aku memberimu tugas untuk ke kota lain dan aku tidak ingin kau berakhir di hutan itu dalam misimu."

"Baiklah, saya akan mengingatnya."

Tidak lama keduanya kembali ke kastil Cesario. Sinar matahari mulai surut, berganti dengan kerlipan bintang yang bersinar menghiasi langit. Sunyi mengisi perjalanan, keduanya memilih bungkam pada lamunannya masing-masing.

A Lady in ArmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang