XXIV

7.7K 776 36
                                    

"Apa dia juga mengetahui kalau kau wanita?" tanya Margareth.

"Apa maksud anda, my lady?" tanya Aleenor cemas.

"Kau tidak perlu menyembunyikannya dariku. Sejak awal aku melihatmu, aku sudah mengetahui kau hanya berpura-pura sebagai lelaki."

Aleenor terdiam, tangannya meremas selimutnya. Perasaan bingung melandanya, tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada wanita itu. Melihatnya sebelumnya, Aleenor dapat melihat bagaimana wanita itu terbakar oleh rasa cemburu saat Jaren menggendong dirinya. Mungkin akan lebih baik jika Aleenor tidak mengatakan apapun. Sementara Margareth terus mengamati kegelisahan di mimik wajah Aleenor.

"Sepertinya tidak ada yang mengetahuinya selain diriku, bukankah begitu?" tanya Margareth.

Dengan ragu, Aleenor mengangguk. Untuk sementara Aleenor berpikir akan lebih baik jika wanita itu mengira Jaren menganggapnya sebagai lelaki dengan begitu wanita itu tidak akan merasa tersaingi olehnya. Dari awal, Aleenor juga tidak tertarik dengan duke arrogant itu. Tidak, lebih tepatnya dia tidak ada pikiran untuk mengejar lelaki saat ini, dia hanya ingin segera keluar dari kastil itu.

"Karenanya, aku memberikan obat yang dibawa oleh tabib itu untukmu. Aku hanya tidak ingin ada seorang wanita yang tinggal di kastil yang sama dan berada di dekat calon tunanganku, walaupun aku ragu dia akan melihatmu," ucap Margareth, sekilas terlihat kesedihan di raut wajahnya.

"Anda tidak perlu khawatir, saya tidak pernah ada niatan untuk mendekati his lordship," balas Aleenor.

Margareth melihat keseriusan dari tatapan Aleenor, mungkin kekhawatirannya terlalu berlebihan. Jika dibandingkan dengan rupa dan kelas, tentu tidak perlu dipertanyakan lagi siapa yang lebih unggul. Margareth kembali menatap Aleenor lebih lekat dari ujung kepala hingga kaki. Sekilas terlihat senyuman meremehkan terpasang di wajah Margareth. Bagaimana bisa dia merasa terancam oleh wanita yang bahkan tidak patut disebut sebagai wanita itu. Margareth berjalan dengan anggun mendekati tempat tidur Aleenor, ditaruhnya salep alami yang berhasil dimintanya secara paksa dari tabib pribadi Jaren di nakas.

"Kau lebih baik menjaga kata-katamu itu," ucap Margareth, menunduk mensejajarkan pandangannya tepat di wajah Aleenor.

Margareth kemudian keluar dari kamar Aleenor. Dia tersenyum puas melihat dirinya dengan Aleenor bagaikan langit dan bumi. Sesaat dia melirik Aleenor dari celah pintu yang sepenuhnya belum ditutup olehnya.

Jaren tidak akan pernah melirik wanita seperti itu.

Margareth menutup rapat pintu kamar Aleenor lalu pergi dari tempat itu. Dia terperanjak saat maniknya menangkap sosok pujaan hatinya berjalan ke arahnya. Seketika Margareth menghentikan langkahnya. Tampak kekesalan di wajahnya mengetahui Jaren berada sayap barat kastil utama, bagian kastil yang ditempati prajurit. Tidak cukup dengan menggendong gadis itu dan mengirimkan tabib pribadinya, kini bahkan duke itu membuang waktunya untuk menjenguk wanita sialan itu. Margareth tersenyum manis, memendam rasa kesalnya ketika Jaren membalas tatapannya.

"My lord," panggil Margareth dengan lembut.

"Kenapa kau berada disini?" tanya Jaren, tatapan tidak suka terlihat jelas di raut wajahnya.

"Saya sedang mencoba mengingat setiap bagian dari kastil ini selagi saya disini. Saya tidak ingin tersesat jika saya menetap di kastil ini nantinya," ucap Margareth.

"Cukup dengan angan-angan kosongmu! Aku akan berbicara denganmu setelah ini," kata Jaren, berlalu melewati Margareth.

Margareth mengepalkan tangannya seraya manik amber-nya terus menatap punggung kokoh itu menjauh darinya.

A Lady in ArmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang