Suara roda bergesekan dengan tanah menjadi penyambut pagi Aleenor. Perlahan dia mulai membuka manik hazelnya. Bayangan seorang anak perempuan ditangkap oleh penglihatannya yang masih kabur. Aleenor terperanjat ketika bayangan itu dapat terlihat jelas olehnya. Benar saja, anak perempuan sedang duduk di sampingnya dan melihatinya secara dekat.
"Kau siapa?" tanyanya.
Aleenor semakin terbelalak melihat pemandangan gelap di sekitarnya. Ada dua gadis kembar di dalam gerobak kayu bersamanya. Mereka sepertinya lebih muda sekitar lima tahun darinya. Tidak ada yang bersuara. Pertanyaan Aleenor diabaikan oleh mereka.
Aleenor mencoba mengingat bagaimana dirinya dapat berakhir dalam gerobak yang sebelumnya berpapasan dengannya. Dia hanya mengingat sebuah tangan besar mendekapnya lalu dirinya kehilangan kesadarannya. Dia melihat kedua anak itu secara bergantian. Mereka memiliki wajah yang sama dengan pakaian kumuh yang mereka pakai membuat mereka tampak tak terurus walaupun sebenarnya cukup cantik jika dilihat dari raut wajah mereka.
"Dimana ini?" tanya Aleenor.
"Di dalam gerobak," jawab salah satu dari mereka yang berada di dekat Aleenor.
Aleenor menghela nafas, ingin rasanya dia tertawa mendengar jawaban polos remaja itu.
"Maksudnya dimana mereka akan membawa kita?"Gadis itu menggeleng.
"Apa kalian juga diculik?"
Sekali lagi gadis itu menggeleng.
"Lalu apakah mereka keluargamu?"
Untuk sekian kalinya gadis itu menggeleng. Sementara gadis yang berada di pojok hanya memandang acuh.
"Lantas mengapa?"
"Kami dengan sukarela mengikuti orang-orang itu dengan alasan mereka menawari kami tempat yang bersih dan makanan yang sehat."
"Mengapa kalian langsung percaya pada mereka begitu saja? Bagaimana jika mereka berniat jahat pada kalian?"
"Karena kami tidak punya banyak pilihan."
Aleenor menaikkan satu alisnya tidak mengerti maksud anak perempuan itu.
Tidak punya pilihan? Mungkinkah keluarga mereka berlaku kasar?
Batin Aleenor bergejolak menduga dua anak perempuan itu senasib dengan dirinya. Dia memandang iba kedua anak itu.
"Di desa kami banyak yang terkena wabah hitam. Bahkan karena wabah itu, kami menjadi sebatang kara. Untuk makan sehari-harinya kami perlu berebut makanan sisa dengan anak lain dan mengharapkan belas kasihan dari para landlord yang melintas, itupun kadang kala. Kami bahkan harus menutupi sebagian wajah kami dengan kain sehari-harinya agar tidak tertular wabah mematikan itu. Karenanya, ketika mereka menawari makanan yang berlimpah dan tempat tinggal baru kami langsung mengikutinya tanpa pikir panjang."
Aleenor melengkungkan alisnya, dia merasa miris mendengar kisah kedua anak perempuan itu. Memang dia cukup mendengar tentang wabah mematikan itu. Tetapi dia tidak tahu bahwa wabah itu telah menyerang banyak warga terutama di desa anak kembar itu.
"Siapa nama kalian?" tanya Aleenor sembari menyentuh pundak anak perempuan kembar yang duduk dekat dengannya.
"Aku Rosemarie dan kembaranku Roseanne."
"Aku Aleenor," balasnya sembari mengulurkan tangan pada mereka.
Namun hanya Marie yang menyambut tangannya, tidak dengan Anne yang hanya terdiam dan menatap Aleenor dengan tatapan yang tidak bersahabat. Aleenor hanya tersenyum menanggapinya. Dia sedikit terheran mengapa dua kembar itu tidak terlihat akrab, seakan asing satu sama lain. Aleenor menggelengkan kepala, bukan saatnya untuk terbengong. Dia harus memutar otak untuk dapat melarikan diri dari penculik itu. Dia juga harus berpikir keras untuk menyelamatkan dirinya dengan kedua anak kembar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lady in Armor
Fiksi SejarahMengurus hewan ternak, mencukur bulu domba, dan menjual-belikan hasil ladang sudah menjadi keseharian Aleenor Preaux, seorang Lady yang juga putri pemilik ladang tempatnya bekerja. Perlahan hidupnya mulai berubah berawal dari sahabatnya, Eric Rochef...