Decitan roda kereta masih terdengar melintasi perbukitan hijau. Di dalam kereta itu terlihat Aleenor sedang tertidur pulas di bahu Jaren. Berbanding terbalik dengan gadis itu yang sudah terlelap di bunga tidurnya, lelaki di sampingnya malah terlihat seperti patung. Jaren bertingkah demikian bukan tanpa alasan, dia hanya tidak ingin Aleenor terbangun dan mengetahui apa yang sedang dilakukannya saat ini.
Beberapa saat berlalu, pundak Jaren mulai terasa letih menahan berat Aleenor yang bersandar padanya. Namun demikian, lelaki itu masih dalam posisinya karena tidak ingin membangunkan gadis itu. Semakin lama, semakin berat kepala Aleenor dirasa Jaren. Karena terlalu pegal, Jaren refleks menggerakkan bahunya membuat Aleenor hampir saja jatuh jika saja Jaren tidak cepat menaruh tangannya untuk menahan kepala Aleenor.
"Umhh.."
Aleenor merasa tidak nyaman dengan posisinya saat ini. Tangannya meraba di sekitarnya mencari tempat yang bisa dijadikannya sebagai sandaran.
"Wanita ini benar-benar lancang," geram Jaren merasa risih saat Aleenor menyentuh tubuhnya. Jika saja Aleenor dalam keadaan sadar, Jaren pasti langsung menjauhkan tangan mungil itu darinya.
"Mmm.. bantal.." gumam Aleenor ketika tangannya sampai pada paha Jaren.
Segera Aleenor memposisikan dirinya tertidur di pangkuan Jaren. Meski dia tidak bisa mensejajarkan kakinya dengan tubuhnya, tetapi posisi ini lebih nyaman untuknya daripada sebelumnya.
Jaren mengangkat kedua tangannya, was-was jika gadis itu sadar bahwa bantal yang dikira Aleenor adalah dirinya. Dia mengerutkan alisnya memandang Aleenor sudah terlelap layaknya anak kecil yang tertidur di pangkuannya tanpa rasa berdosa sedikitpun.
"Aku benar-benar tidak bisa menebak setiap tingkah wanita ini," ucap Jaren sembari menggelengkan kepalanya.
Jaren memperhatikan Aleenor, tangannya mulai bergerak menjangkau rambut semampai gadis itu. Entah mengapa ia ingin menyentuh wanita baks malaikat yang tertidur itu. Namun, rasionalnya kembali, ditahannya telapak tangannya yang hampir saja menyentuh rambut Aleenor. Jaren akhirnya memilih untuk menyilangkan kedua tangannya, untuk menahan nafsu lelakinya. Yah, itu hanyalah sebatas nafsu lelaki normal pada wanita, bukan lebih dari itu, pikir Jaren. Bukannya selera Jaren turun pada wanita, hanya saja saat ini hanya ada Aleenor di depannya. Terlebih hanya mereka seorang diri di dalam kereta, wajar saja jika jiwa lelaki Jaren keluar.
Kereta semakin melaju jauh, melewati perbukitan gelap dengan suara burung-burung malam yang mulai mencari makanannya. Perlahan mata Jaren terasa berat, kantuk mulai menimpa dirinya. Beberapa kali Jaren mencoba menahan rasa kantuknya yang teramat. Tetapi, alhasil dia ikut terlelap di dalam kereta itu.
Pagi pun datang, Jaren terbangun terlebih dahulu. Tampak lelaki itu menghela nafas setelah melihat Aleenor masih tertidur nyenyak di pangkuannya. Sekilas terlihat senyuman tipis di wajah Jaren, menambah ketampanannya semakin terpancar.
Tuk tuk
Sang kusir mengetuk kereta kuda dengan lecutannya, memberi isyarat bahwa keretanya akan segera tiba di tujuan, yakni kastil Cesario.
"My lord, tidak lama lagi kita akan tiba di kastil," ucap sang kusir.
Di dalam kereta, Jaren tampak sedikit panik. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan wanita yang berada di pangkuannya kini. Haruskah dirinya membangunkannya atau membiarkannya menjadi pilihan yang memenuhi kepala Jaren saat ini. Dia tidak tega untuk membangunkan Aleenor terlebih jika melihat kembali luka itu, namun disisi lain Jaren juga tidak ingin Aleenor maupun kusirnya melihatnya dalam posisi seperti ini. Bisa-bisa mereka salah paham dengan dirinya. Jaren hanya tidak ingin Aleenor besar kepala ataupun kusirnya mengira dirinya memiliki hubungan yang spesial dengan gadis itu.
Setelah memutuskan, Jaren mulai menggapai kepala Aleenor, mengangkatnya perlahan dari pangkuannya. Dengan hati-hati Jaren menyelaraskan Aleenor bersandar pada tembok kayu kereta. Dia sedikit tergelitik melihat gadis itu masih tertidur pulas dengan mulut yang menganga.
Plakk
Jaren menampar pipinya, "Ada apa denganku?"
Untuk sekali lagi Jaren menggelengkan kepalanya, lalu kembali memasang wajah arrogant-nya. Rasa dingin menerpa pipinya, Jaren menyentuh pipinya yang sebelumnya ditamparnya.
"Sejak kapan tanganku basah? Apa kereta ini bocor?"
Jaren melihat langit-langit keretanya lalu menilik keluar jendela, di luar matahari terlihat pada teriknya. "Tidak hujan, lalu..."
Perhatian Jaren seketika terpaku pada Aleenor, tepatnya pada mulut gadis itu yang terbuka lebar.
"You don't say..."
Dengan muka masam, Jaren menyentuh pipi Aleenor. Dan seperti dugaannya, telapak tangannya yang sebelumnya kering menjadi basah.
"Oh no.. it stinks!" ucap Jaren setelah dengan bodohnya mencium aroma air di tangannya.
Manik Jaren tidak sengaja menangkap sesuatu di celananya. Sesuatu yang sama dirasakannya sebelumnya di pipinya. Sebuah pulau kecil terbentuk tepat di tempat yang tidak seharusnya pada celananya.
"Wanita ini benar-benar selalu memberiku kejutan yang tak terduga," geram Jaren.
Kereta kuda tiba-tiba berhenti. Sang kusir dengan sigap turun dari singgasananya. Dia lalu berjalan dan menempatkan dirinya di samping pintu kereta.
"My lord, kita sudah sampai," ucap sang kusir, lalu membukakan pintu kereta untuk tuannya.
Dengan rasa malu, Jaren keluar dari kereta.
"My lord, jubah Anda..."
"Diamlah!"
Jaren terpaksa menggunakan jubahnya untuk menutupi celananya yang basah karena ulah Aleenor. Sepertinya sudah cukup kali ini saja dia membiarkan gadis itu tidur di pangkuannya.
⭐⭐⭐
Penjelasan - extra part
Jadi, chapter bonus ini hanya buat selingan chapter sebelumnya.. bukan lanjutannya yah.
Biar ada nuansa comedy-nya, ga bapeer mulu. Tapi kalo garing ya ketawa aja lah pokoknya wkwk (maksa bgt dah Thor).. biarin weekkk😜
Udah gichu ajah.. dadachhh
See u gaess in the next chapter😉Salam luv❤ eww~
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lady in Armor
Historical FictionMengurus hewan ternak, mencukur bulu domba, dan menjual-belikan hasil ladang sudah menjadi keseharian Aleenor Preaux, seorang Lady yang juga putri pemilik ladang tempatnya bekerja. Perlahan hidupnya mulai berubah berawal dari sahabatnya, Eric Rochef...