42. Feeling Blue (Private)

7.8K 558 16
                                    

Kenapa Kalea tidak memiliki pikiran yang sama sepertinya? Kenapa mereka harus berbeda pendapat? Sudah jelas hal terbaik yang harus dilakukan Nate adalah meledakkan bom juga di mal Peter dengan mencari orang hebat yang akan meledakkan bom tanpa meninggalkan jejak, seperti IT yang berkerja dengan detektif misalnya?

Tiba-tiba ponsel Nate berdering, diliriknya sekilas nama penelepon.

"Ya, Dad?"

"Datanglah ke rumah sekarang. Aku ingin membicarakan tentang mal." ujar Blake—ayah Nate—tegas dan tidak boleh dibantah.

"I'll be there in 15 minutes." sahut Nate patuh.

• • •

Sesampai Nate di rumah ayahnya, dia mulai menceritakan siapa yang melakukan pemboman, lalu membicarakan mengenai kerugian, dan Nate juga menceritakan rencana balas dendamnya. Sesaat Blake tidak mengatakan apapun. Blake memikirkan kalimat yang harus dilontarkan yang dapat membuat anaknya sadar dengan tindakan super bodoh yang akan dilakukannya. Karena kalau tidak, membuat Nate mengurungkan niatnya sama saja seperti menunggu salju di bulan Juli. Tidak akan pernah berhasil.

Nate sangat keras kepala, Blake akui. Bahkan kepala Nate sudah tidak bisa disebut kepala batu lagi lantaran batu masih bisa lapuk sementara kepala Nate tidak. Kepala Nate lebih cocok disebut dengan kepala baja.

Blake berdeham, "Kau yakin itu adalah keputusan terbaik, Nate?"

"Ya." Nate mengangguk mantap.

"Kau sudah membicarakan ini dengan Kalea?"

Nate mengangguk, Blake melihat raut wajah anaknya berubah menjadi murung.

"Dia pasti tidak setuju, kan?"

Nate mengangguk sekali lagi. Bahkan aku membentaknya, Dad.

"Baiklah, aku tidak akan menahanmu melakukan apapun. Tapi masih ada cara lagi yang lebih bagus tanpa kau harus meledakkan bom." tukas Blake, membuat Nate mengalihkan pandangan ke ayahnya.

"Memang ada?" Nate menaikkan sebelah alisnya.

Blake mengangguk. "Kau bisa menyuap polisi dengan jumlah uang yang lebih besar agar mereka memberitahu pelaku sebenarnya ke stasiun televisi, dengan begitu akan terungkap bahwa Peter melakukan hal yang tidak pantas demi menaikkan popularitas malnya. Benar, kan?" jelas Blake yang membuat mata batin Nate terbuka lebar. Ayahnya benar.

Seketika rasa bersalah menyelimuti dirinya.

Dia telah membentak Kalea, padahal keputusannya adalah bodoh. Lebih bodohnya lagi, Nate baru menyadarinya sekarang, tiga hari setelah mereka bertengkar.

"Nate? Benar, kan?" ulang Blake membuyarkan lamunan Nate.

Nate mengangguk tidak fokus. "Ya, Dad, um, kurasa caramu boleh juga."

"Tentu saja. Daripada uangmu dikeluarkan untuk menyewa orang dengan harga tinggi dan risikonya adalah nyawa orang-orang, jauh lebih baik kau langsung memberikan uang yang banyak ke kepolisian. Percayalah padaku, Peter pasti akan jatuh." jelas Blake yang sekali lagi membuat Nate manggut-manggut.

"Terima kasih atas sarannya, Dad, aku pergi dulu." Nate beranjak dari sofa, memeluk Blake singkat lantas pergi meninggalkan rumah orang tuanya.

Nate harus menemui Kalea. Astaga, kenapa dia selalu melakukan hal yang sangat bodoh? Kenapa Nate harus membentaknya? Memang apa yang sedang dia pikirkan saat itu? Demi Tuhan pikiran Nate telah digelapkan oleh dendam.

Nate mengusap wajahnya kasar. Dia telah menyakiti hati Kalea ke sekian kalinya dan dia ingin meminta maaf pada kekasihnya itu. Namun Nate sendiri tidak tahu apakah Kalea mau memaafkannya setelah kesalahan fatal yang dia perbuat.

• • •

Nate mengendarai mobilnya menuju apartemen Kalea. Setelah sampai di depan pintu kamar Kalea, Nate memencet bel. Namun semenit kemudian, masih tidak ada tanda-tanda orang akan membukakkan pintu. Hingga sepuluh menit Nate menunggu, tetap tidak ada yang menjawab. Sebenarnya Nate bisa saja memasukkan nomor pin, tetapi dia menghargai privasi Kalea. Lagipula, mungkin Kalea tidak di apartemen, karena jika iya, Nate pasti mendengar suara-suara kaki melangkah.

Menyeret langkah keluar dari apartemen, Nate memutuskan untuk pergi ke rumah Jordan. Nate sudah siap menerima apapun yang akan Jordan lakukan padanya jika nanti ayah dari kekasihnya itu marah. Mungkin saja Kalea akan bercerita kepada ayahnya, mengingat dia sangat terbuka kepada Jordan dan Laura.

Ekspektasi Nate ketika dia mengunjungi rumah Jordan adalah didamprat habis-habisan oleh kedua orang tua Kalea. Namun entah bagaimana Jordan menghadapi pacar anak perempuannya yang lumayan berengsek ini, Jordan tetap berbicara baik-baik dengan Nate. Bahkan dia melontarkan kalimat basa-basi.

"Bisa aku bertemu dengan Kalea?" Nate secara tidak langsung mengutarakan tujuannya datang ke rumah itu.

"Kurasa dia tidak mau. Dia benar-benar tersakiti, Nate." Jordan menghela napas. "Biarkan dia tenang dulu," ujar Jordan yang membuat Nate hilang harapan. Jika Jordan sudah bilang tidak, dia tidak ingin membantah ataupun memaksa Jordan.

Jadi, kesempatannya meminta maaf kepada Kalea sudah tidak ada. Nate sendiri tidak tahu kapan Kalea baru mau menemuinya. Atau mungkin Kalea sudah tidak ingin bertemu dengannya lagi?

"Kau tidak seharusnya membentak Kalea, Nate." tukas Jordan yang direspon anggukan oleh Nate.

Dengan tatapan bersalah, Nate mengatakan, "Aku tahu. Aku benar-benar hilang kendali kala itu."

"Apapun situasinya kau tidak seharusnya membentak dia." Jordan kembali mengulang perkataannya, Nate pun bergeming.

Hati Nate serasa seperti memikul beban yang begitu berat. Dia telah melukai hati Kalea, belum meminta maaf atas perbuatannya pada Kalea, serta memikirkan masa depannya yang pasti akan kacau mengingat kemungkinan Kalea tidak ingin kembali pada Nate. Dan entah ke berapa kalinya, Nate merutuki dirinya yang temperamental.



Maaf ya kalo masalah bisnisnya kaga nyambung. :| But im trying my best.

Thanks for reading. Aku cinta kalian...❤️

19 Desember 2016, 10:20am WIB.

Pull Me CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang