Joanne baru saja memasuki tokonya saat ia melihat sosok yang berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Sosok tinggi dengan bahu tegap serta mengenakan setelan kemeja santai yang dipadukan dengan celana chino.
Joanne mendekati Harvey yang tampak tidak menyadari kedatangannya, bahkan suara hak sepatunya yang beradu dengan lantai juga tidak menyadarkan pria yang kini tengah dalam posisi membelakanginya.
"Harvey?"
Panggilan Joanne membuat Harvey memutar tubuhnya dan pada saat pria itu melihat sosok Joanne yang berdiri di hadapannya, terlihat sebuah senyum di wajah Harvey.
"Selamat pagi, J." Sapa Harvey.
"Selamat pagi," Joanne membalas sapaan Harvey kemudian bertanya kepada pria itu. "Kamu ke sini pagi-pagi?"
"Karena aku pikir kamu sudah ada di toko pagi-pagi." Jawab Harvey.
Joanne menggeleng pelan. "Aku baru datang. Ada apa?"
sambil memasukan sebelah tangannya ke dalam saku celananya, kemudian berkata, "Tentang design gaun pengantinnya..."
"Oh," Joanne bergumam kemudian melanjutkan kata-katanya. "Kita bisa membicarakan itu di dalam ruanganku saja."
Harvey mengangguk singkat kemudian Joanne melangkah melewati depan Harvey yang berdiri tegap. Harvey mengikuti langkah Joanne dari belakang. Seorang karyawan perempuan bersetelan rapi menyapa Joanne yang di balas dengan anggukan oleh perempuan itu kemudian melanjutkan langkahnya memasuki ruangan yang kemarin telah di datangi oleh Harvey sebelumnya.
"Kamu sudah lama di sini?" Tanya Harvey saat mereka masuk ke dalam ruangan Joanne.
"Sudah hampir dua tahun." Jawab Joanne dengan nada ringan tanpa menoleh kepada Harvey yang ada di belakangnya.
Perempuan itu meletakan tasnya di atas kursi yang biasa didudukinya dan menuju ke sebuah mini bar yang ada di sisi ruangannya. Mengambil cangkir dari lemari kecil di atas sana dan kemudian memperhatikan ke arah Harvey.
"Kopi atau teh?" Tanya Joanne.
Harvey yang sedari memperhatikan gerakan Joanne yang tengah menyiapkan cangkir sontak menjawab pertanyaan perempuan itu.
"Kopi."
Joanne tersenyum tipis dan berkata, "As always."
Kemudian Joanne menyiapkan minuman yang diinginkan oleh Harvey, kopi pahit.
Setelah jawaban Joanne, Harvey langsung menempati kursi kosong ada di hadapan kursi kerja yang biasa diduduki oleh Joanne. Memperhatikan Joanne yang menyiapkan minuman dan kemudian mengalihkan perhatiannya ke sekeliling ruangan kerja Joanne.
Joanne kembali ke meja kerjanya dengan secangkir kopi yang ia bawa dari mini bar dan meletakannya ke atas meja tepat di hadapan Harvey sebelum Joanne mengambil tempat duduk untuk dirinya sendiri di kursinya yang ada di hadapan Harvey.
"Jadi kamu sudah tahu ingin gaun dengan model yang seperti apa?"
"Dia memberikan rincian model gaun pengantin yang dia inginkan."
Harvey tampak mengeluarkan ponselnya dari sakunya kemudian menyalakannya, tengah mencari sesuatu di dalam sana.
"Bagaimana dengan ukuran gaunnya?" Joanne kembali bertanya, memperhatikan Harvey yang tengah menggengam ponselnya.
Harvey tampak berpikir sejenak kemudian berkata, "Mungkin nanti aku akan mengirimkan ukurannya kepadamu."
Joanne tersenyum kecut mendengar hal itu.
"Kedengarnya seperti dia sangat sibuk." Kata Joanne.
Harvey tidak membantah, pria itu tertawa pelan dan kemudian mengangguk pelan. Mengangkat pandangannya kepada Joanne.
"Memang," Harvey menghela nafas panjang kemudian berkata, "Bahkan terlalu sibuk untuk mengurus gaun pernikahannya sendiri."
"Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Joanne berhati-hati.
"Baik-baik saja?" Harvey mengulang pelan.
"Maksud aku, dia tidak bisa datang."
Harvey tampak memiringkan kepalanya sedikit kemudian sudut bibirnya tampak secara sekilas sedikit terangkat sebelum pria itu bersuara.
"I am fine, J."
Joanne tampak sedikit lega mendengar jawaban itu. Joanne kemudian mengeluarkan buku sketsa yang biasa ia gunakan untuk menggambar ide atas rancangan pakaiannya.
"Kamu punya contohnya? Jika ada maka aku akan menggambarnya langsung di sini."
"Aku dengar kamu pernah merancang pakaian untuk beberapa artis Hollywood yang pernah manggung di Indonesia." Kata Harvey sambil memperhatikan Joanne yang tengah membalik halaman buku sketsanya dan berhenti pada sebuah lembaran kosong.
Joanne mengangkat tatapannya kepada Harvey, tersenyum tipis dan berkata, "Ya, hanya beberapa."
"Kamu bilang 'hanya beberapa'."
Joanne mengangkat alisnya. "Ya?"
"Itu terdengar seperti kamu tidak puas dengan hal itu." Kata Harvey.
Sedangkan Joanne tidak berkomentar.
"Kamu memang tidak pernah berubah ya, J." Harvey tersenyum kepada Joanne.
Joanne menggeleng kemudian menghela nafas dengan ekspresi geli kepada Harvey
"Semua orang pasti berubah, Harvey. Tanpa terkecuali aku juga dan sekarang tentang gaunnya..."
Tampak gelengan singkat dari Harvey atas ucapan Joanne, pria itu tidak setuju. Joanne menyipitkan matanya.
"Biarkan aku meralat ucapan kamu barusan," Harvey tidak menanggapi ucapannya tentang gaun dan kemudian pria itu tampak menjalin jemarinya satu sama lain kemudian kembali berkata, "Semua orang pasti berubah. Terkecuali kamu."
Joanne mau tidak mau tersenyum geli atas ucapan Harvey dan mencibir pelan. "Dasar aneh."
Mata Joanne melirik sekilas kepada jemari Harvey yang saling bertautan dan menemukan cincin itu masih ada di sana.
Sedangkan Harvey tertawa pelan mendengar cibiran Joanne namun tidak berapa lama, ekspresi wajahnya berubah kembali serius.
"Harvey, gaunnya..."
"Itu nanti, kita tunda sebentar," Harvey menarik nafas. "Tapi aku serius, J."
"Aku tahu, kamu serius hingga terdengar aneh." Joanne menanggapinya.
Sudut bibir Harvey terangkat. "Aku pikir kamu akan mengatakan bodoh."
"Aku tidak akan mengatakan bodoh," Joanne mendengus pelan. "Tidak akan berani lagi, karena kalau kamu bodoh maka kamu tidak akan pernah bisa menjadi salah satu dari jejeran arsitek terbaik di luar sana." Balas Joanne dengan nada sarkastis.
Ucapan Joanne membuat Harvey tergelak dan kemudian pria itu menatap kepada Joanne.
"Kamu tidak pernah berubah, J."
Joanne menghela nafas atas ucapan Harvey kemudian membalas, "Aku benar-benar tidak mengerti. Kamu sendiri saja sudah banyak berubah. Bagaimana aku tidak?"
"Sudah aku bilang, J. Semua orang berubah dan hanya terkecuali kamu." Ucap Harvey dengan nada bicara yang melembut.
Joanne mengigit bibir bawahnya mendengar ucapan Harvey yang sebelumnya.
"Maksud kamu, aku kenapa?" Kali ini Joanne mengecilkan suaranya, bertanya dengan hati-hati.
"Buktinya, meski pun delapan tahun sudah berlalu, kamu masih saja Joanne yang sangat aku kenal." kata Harvey.
Harvey sedikit membungkuk sambil meletakan ponsel dengan layarnya yang menyala di atas meja di hadapan Joanne sedangkan Joanne bergeming.
"Termasuk dengan bagaimana cara kamu menatap aku. Itu tidak pernah berubah."[]
■ 190117 ■