Joanne baru saja masuk ke dalam rumahnya, keadaan di dalam sana tidak ada yang berubah, masih sama seperti sebelum dia pergi keluar bersama Harvey. Keadaannya seperti tidak ada seorang pun di dalam sana.
"Joanne."
Joanne menarik nafas dalam, ia hampir merasa lega saat berpikir bahwa orang itu belum pulang namun ternyata fatal sebelum akhirnya menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya dan mendapati kakak laki-lakinya, Darent Denandres Tanaka, duduk dengan tegap di kursi atas sofa.
"Ya?" Joanne membalas panggilan kakaknya itu
Kemudian perempuan itu melirik pada jam dinding yang tergantung di sisi ruang tengah, ini lebih awal dari biasanya. Cukup mengejutkan karena kakaknya itu sudah kembali ke rumah sebelum lewat dari tengah malam.
"Kamu dari mana saja?" Tanya Darent dengan nada penuh rasa ingin tahu kepada adik perempuannya. Kedengarannya seperti Darent sudah menunggu kepulangannya sedari tadi.
Pertanyaan yang sudah diprediksi oleh Joanne.
"Pak Kar tidak memberitahumu?" Joanne membalas bertanya kepada kakaknya.
"Jika aku bisa tahu dari kamu, lalu kenapa aku harus tahu dari Pak Kar?" Balas Darent, walau pun biasa namun entah kenapa pertanyaan itu terdengar begitu tegas di telinga Joanne.
"Well, aku keluar bersama Ara tadi. Dia mengajakku untuk pergi minum di cafe yang tidak jauh dari sini."
"Hanya ke cafe?" Darent bertanya.
Joanne mengangguk, "Ya, hanya ke cafe."
Tampaknya Darent mempercayai Joanne, suasana tegang sedikit mencair. Joanne mulai bisa bernafas dengan tenang. Hingga akhirnya Darent kembali membuka suara dan apa yang dikatakan oleh kakak laki-lakinya itu cukup mengejutkan bagi Joanne.
"Aku dengar bahwa Harvey sudah kembali ke Indonesia." Kata Darent.
Joanne menoleh kepada Darent yang kini tampak tengah mengulung lengan kemejanya hingga sebatas siku.
"Ya, Harvey kembali ke Indonesia." Joanne membenarkan.
Darent menoleh kepada adik perempuannya dan berkata, "Kamu sudah mengetahuinya, J?"
Joanne mengangguk. "Kami bertemu pada saat pesta ibunya."
Darent mengangkat sebelah alisnya seakan itu menarik. Pria itu berdeham pelan kemudian berkata, "Jadi, kalian juga sudah bertemu."
Joanne mengangguk pelan, tidak mengatakan apa pun. Darent kembali bersuaranya.
"Kurasa aku harus memberi sambutan juga untuknya nanti."
Joanne mengerutkan keningnya, tahu bahwa itu bukanlah maksud yang sebenarnya.
"Darent..."
Darent menoleh, memiringkan kepala kepada adiknya itu yang tengah menatapnya dengan tatapan aneh.
"Kami tidak banyak berbicara, Darent. Aku hanya sebentar di sana," Joanne terdengar seperti mencoba untuk menjelaskan sesuatu kepada kakak laki-lakinya itu. "Aku tahu bahwa yang kamu maksud dengan sambutan itu..."
"Itu apa, J?" Tanya Darent.
"Jangan lakukan hal gila lagi. Please." Kini itu terdengar seperti sebuah permohonan dengan bisikan.
Darent mengerti apa maksud ucapan Joanne, pria itu mengambil nafas dalam lalu berkata, "Joanne. Aku melakukan ini karena aku peduli sama kamu. Aku tidak ingin kamu sampai mengulang kesalahan yang sama. Terlebih di saat ini."
Joanne menarik nafas dalam kemudian memiringkan kepala kepada kakak laki-lakinya.
"Darent, aku tahu. Kamu mengulang kalimat itu setiap hari atau bahkan setiap kali kita bertemu. Lebih sering daripada jadwal makan kamu sendiri."
Darent tidak menyangkal tentang hal itu, pria itu hanya mengangkat bahunya pelan sambil menyentuh dagunya dengan ibu jari dan telunjuknya seakan ia tengah memikirkan sesuatu.
"Aku tidak akan bermasalah jika memang perlu mengingatkan kamu setiap detiknya, J."
Joanne meringis, menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun yang mungkin akan memancing kakaknya tidak akan berhenti berbicara kepadanya. Dan Darent menyadari reaksi Joanne.
"Aku harap kamu tidak salah mengartikan apa yang aku lakukan. Aku melakukan hal itu karena aku peduli sama kamu."
"Aku tahu, Kak." Balas Joanne.
"Kamu tahu, ayah dan ibu berharap banyak kepada kamu karena kamu adalah anak perempuan satu-satunya di sini." Jelas Darent kepada Joanne.
Joanne juga pernah mendengar hal itu, lebih sering daripada yang seharusnya ia dengar. Ia benci harus mendengarnya terus menerus.
Jadi Joanne mencoba untuk menganggap bahwa Darent mencoba untuk memberi pengertian kepada dirinya, namun ia tidak bisa benar-benar melakukannya.
Karena bagaimana pun semua itu berawal dari Joanne.
"Aku bukan lagi Joanne yang dulu. Tidak ada kenakalan dan tidak ada pikiran pendek yang berakhir dengan kebodohan." Joanne mencoba untuk meyakinkan kakak laki-lakinya itu.
Darent mengendikkan bahunya lalu berkata, "Mungkin Ezra juga akan melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan kepadamu, J. Atau mungkin lebih dari yang aku lakukan. Kamu tahu sendiri Ezra seperti apa."
Joanne sontak menghela nafas panjang, terdengar putus asa saat ia berkata, "Jangan Ezra, tidak dengan Ezra."
Darent tidak mengatakan apa pun, Joanne kembali bersuara.
"Aku sudah berubah dan apa delapan tahun ini tidak cukup bagiku untuk membuat kamu percaya lagi kepadaku?"
Darent menggeleng kepada adiknya dan berkata, "Tidak, Joanne. Bukan aku tidak percaya kepada kamu."
"Lalu apa?" Joanne terdengar seperti berbisik.
"Aku percaya kepada kamu, J. Yang perlu kamu yakinkan bukan aku tapi mereka, terutama Ezra."
Darent melembut di akhir kalimatnya, terutama pada nama Ezra. Pria itu tahu Joanne tertekan setiap kali mendengar nama itu.
Joanne mengigit bibir bawahnya, Darent menghela nafas panjang. Memberi isyarat agar Joanne mendekat kepadanya.
Joanne menurut dan membiarkan Darent untuk berdiri dan memberinya sebuah pelukan. Joanne memejamkan matanya di dalam pelukan Darent.
"Calm down. It's okay, J," Darent menenangkan Joanne. "Ezra akan melunak dengan perlahan."
"Ini sudah delapan tahun sejak saat itu dan Ezra..."
"Aku tahu. Tapi Ezra tidak peduli berapa lama itu yang ia inginkan hanyalah agar kamu baik-baik saja."
"..."
"Karena kamu tahu sendiri bukan? Bahwa musuh terbesar untuk aku dan Ezra adalah pria yang telah menyakiti kamu, J."[]
■ 270117 ■