Pagi-pagi sekali El sudah berada di rumah Delia. Menunggu pacarnya yang masih tidur.
Pacar?
Mengingat kata itu membuat El tersenyum geli. Keputusannya untuk menjadikan Delia sebagai pacar mungkin sangat mendadak, tapi dia yakin itu keputusan yang tepat.Bukan tanpa maksud, El menjadikan Delia pacarnya agar ia tahu lebih dalam tentang gadis itu. Seburuk apapun gadis itu di matanya, hatinya tetap berkata Delia gadis baik-baik. Hanya keadaan yang memaksanya menjadi senakal itu.
El berbincang sebentar dengan Bu Sumi, sebelum akhirnya meminta Bu Sumi untuk segera membangunkan Delia karena waktu sudah menunjukkan pukul 6 lebih.
Tak berapa lama Bu Sumi turun bersama seorang gadis dengan rambut berantakan khas bangun tidur, hanya saja dengan wajah penuh kilatan marah.
Delia dan El berjalan bersamaan. Mereka berhenti saat saling berhadapan.
Delia dengan wajah penuh kekesalan sedangkan El dengan wajah tanpa dosa.
Mulut Delia hampir terbuka akan mengatakan sesuatu tapi ditahan El dengan meletakkan telunjuknya di bibir Delia yang kini tertutup rapat.
"Kalo kamu ngomong sekarang, setidaknya akan ngurangin waktu sepuluh menit." Tangan El menunjuk jam dinding dengan telunjuk lainnya yang bebas. Delia mengikuti arah tunjukan El. Kedua jarum jam menunjuk pada angka 6 saling berdekatan.
"6.30 ditambah sepuluh jadi 6.40, belum lagi mandi dan persiapan lainnya kurang lebih 20 menit. Jam berapa kita nyampe sekolah?"
Delia menghentakkan kakinya kesal, ia harus bisa menahan emosinya sebentar karena itu akan membutuhkan waktu lama, sepuluh menit tidak akan cukup. Delia memandang El sekilas lalu pergi ke kamarnya untuk bersiap.
Sedangkan El tersenyum geli melihat tingkah kesal Delia yang menggemaskan di balik pakaian tidurnya.
Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk Delia bersiap. Meski penampilannya tak sesempurna biasanya, dia tak peduli. Ia sudah tidak tahan untuk segera mengeluarkan kelesalannya pada El. Ia bahkan menolak untuk sarapan dan lebih memilih keluar rumah. Ia ingin berdebat di ruang terbuka agar lebih leluasa, alasan yang konyol.
Di depan rumah El tetap memaksa Delia untuk sarapan. Tangannya yang memegang roti terus ia arahkan pada Delia. "Kamu boleh marah, tapi makan dulu ini."
Terpaksa Delia meraih roti tersebut, dilahapnya roti tersebut hingga habis. Lalu menghabiskan segelas susu yang El sodorkan.
Delia mengelap mulutnya dengan tangan. Ditatapnya El tajam. Jangan pikir dengan mengulur waktu dia akan melupakan kemarahannya.
Belum sempat Delia mengatakan apapun El sudah mendahuluinya. "Aku minta maaf,"
"Kemarin aku pulang duluan tanpa sempat memberitahumu. Aku buru-buru karena pekerjaanku yang baru dimulai lebih awal, hanya satu jam setelah bel sekolah berbunyi. Dan butuh setengah jam lebih untuk aku sampai ke tempat kerja. Aku gak mau punya kesan buruk di hari pertamaku bekerja, bisa-bisa belum mulai kerja udah dipecat." El memberikan penjelasan panjang lebar.
Bibir Delia mencebik, sejak tadi belum satu katapun keluar dari mulutnya. El selalu saja menahannya untuk bicara, sedangkan pria itu berusaha mencari alasan untuk meredakan emosinya.
Demi Tuhan!
Delia hanya ingin mengeluarkan setiap kata yang sudah ia susun sejak kemarin. Ia ingin menyemburkan kata-kata penuh amarahnya. Tapi kemana perginya kata-kata itu?Delia hanya bisa menghembuskan napasnya kasar, karena penjelasan El tadi telah berhasil membungkam mulutnya dan menghapus semua kosa kata yang ada di otaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Most
Teen FictionArdelia Putri Wijaya, cewek populer di sekolah yang digilai para cowok di SMA Teratai. Karena kepopulerannya itu ia membuat sebuah tantangan untuk dirinya sendiri. Selama ia menjadi siswi di SMA Teratai, Ardelia harus berpacaran dengan sepuluh dari...