Beberapa orang berkumpul mengelilingi gundukan tanah yang telah ditaburi bunga. Di bawah tanah itu terbaring seorang remaja yang telah mengakhiri hidupnya sendiri karena tak mampu keluar dari masalah kehidupan yang menghimpitnya, dan menjadikan kematian sebagai jalan terakhir yang di tempuhnya.
Kini yang mengelilingi makamnya hanyalah tersisa teman-teman sekolahnya yang kompak mengenakan pakaian serba hitam sebagai tanda berkabung atas kepergian teman mereka.
Satu persatu dari mereka mulai beranjak pergi meninggalkan area pemakaman. Hanya tersisa dua orang pria dan tiga wanita. Satu dari ketiga wanita itu terus menangis memeluk batu nisan, meratapi kesedihan dan juga penyesalannya. Salah satu dari pria itu menghampiri si wanita dan menariknya ke dalam pelukan mencoba memberi kekuatan.
"Jangan nangis di depan Celyn, dia gak bakalan suka liat lo nangis," ucap pria itu.
"Tapi ini salah gue Ric, kalau gue angkat teleponnya mungkin gue bisa cegah dia buat ngakhirin hidupnya kaya gini," ujar si wanita di sela tangisnya.
"Jangan terus-terusan nyalahin diri lo, karena lo nggak salah," lanjut pria yang satunya lagi yang ternyata Levin.
"Ini gak bakal terjadi kalau gue angkat teleponnya dia," ucap si wanita yang ternyata Delia, mengulangi kalimat yang sama.
Ia begitu terkejut ketika tadi pagi mendapat kabar Celyn telah ditemukan bunuh diri di kamarnya, karena dia hamil. Rasa bersalahnya muncul ketika ia melihat deretan nomor Celyn di daftar panggilan tak terjawab, dan satu chat yang berisi permintaan Celyn agar Delia menemui dirinya karena ada hal yang ingin disampaikannya. Tapi karena ia terlalu sibuk dengan masalahnya sendiri sampai mengabaikan panggilan telepon semalam, dan sekarang penyesalan menghantuinya.
"Lebih baik kita pulang, gue yang anterin lo," tawar Levin.
"Biar sama gue aja," sela Rico.
Delia menggeleng, menolak tawaran keduanya. "Kalian pulang aja, gue masih mau di sini sama temen-temen."
"Tapi Del..."
"Kalian pulang aja!" seru Mora dengan nada mengusir.
Kedua pria itupun akhirnya menyerah dan memilih untuk pulang meninggalkan ketiga wanita tersebut. Setelah kepergian para pria itu, suasana hening. Ketiga wanita itu saling berpelukan membagi kesedihan mereka, kesedihan atas kehilangan satu di antara teman mereka.
Seandainya bisa, Delia ingin mengulang waktu agar ia bisa menjawab panggilan telepon Celyn. Saat itu Celyn pasti sangat membutuhkannya untuk membagi masalah yang dihadapinya.
Mereka bertiga berjalan keluar dari area pemakaman, setelah mengucapkan selamat tinggal kepada teman mereka yang telah terbaring di bawah gundukan tanah.
"Apa Celyn juga minta kalian untuk datang ke rumahnya?" Tanya Delia pada kedua temannya yang hanya dibalas dengan gelengan kepala dari keduanya.
"Emang apa isi chatnya?" Tanya Silva menyinggung chat terakhir yang diterima Delia.
Delia mengeluarkan ponsel dari tasnya. Tangannya bergerilya di layar ponselnya mencari chat whatsapp yang dikirimkan Celyn semalam. Lalu menunjukkan isi chat tersebut pada kedua temannya.
Celyn
Del, ada hal penting yang harus gue omongin ke lo
Dateng ke rumah gue sekarang, please... ini urgent bangetSilva dan Mora saling berpandangan setelah membaca isi chat tersebut, mereka seolah berbicara melalui tatapan. Tapi kemudian mereka kembali kompak menggeleng, karena memang sama-sama tak tahu.
"Gue gak habis pikir, kenapa Celyn sampai memilih mengakhiri hidupnya seperti ini," ujar Delia.
"Emangnya lo pikir mudah untuk dia lewatin semua ini," ujar Mora dengan nada tinggi. "Dia hamil diusia muda masih sekolah, si Gio brengsek itu gak mau tanggung jawab padahal Celyn cinta banget sama dia. Tapi si Gio terus mikirin cewek lain."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Most
Roman pour AdolescentsArdelia Putri Wijaya, cewek populer di sekolah yang digilai para cowok di SMA Teratai. Karena kepopulerannya itu ia membuat sebuah tantangan untuk dirinya sendiri. Selama ia menjadi siswi di SMA Teratai, Ardelia harus berpacaran dengan sepuluh dari...