Ardelia POV
Flashback
Kembali kulihat selembar kertas yang diberikan dokter tadi. Aku tersenyum, membayangkan wajah bahagia kak Dhito, Mama dan Papa. Aku telah sembuh total, tidak akan ada lagi virus-virus yang dengan mudah mengganggu kesehatanku. Sebenarnya aku tidak sakit, hanya saja fisikku lemah memudahkan virus dan bakteri jahat itu mengganggu kesehatanku. Sekarang tidak lagi, Mama tidak perlu lagi merasa khawatir berlebihan padaku. Aku bebas!
Aku kembali berdiri dari dudukku, melirik ke luar lobby rumah sakit berharap kak Dhito segera datang. Aku sudah tidak sabar menunggunya, ingin segera menunjukkan hasil tes ini pada keluargaku. Kak Dhito berjanji akan menjemputku di jam 7, tapi ini sudah jam 8 malam lebih dan dia belum muncul juga.
Sempat terlintas di benakku untuk pulang sendiri, tapi segera kuurungkan takut jika kak Dhito datang dan mencariku. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan Mama dan Papa.
Ada apa ini?
Apa mereka sudah merencanakan ini untuk membuatku kesal?
Pikiran konyol itu membuatku mencebik kesal, kembali duduk di kursi. Setelah tadi tak henti melakukan gerakan duduk-berdiri, kini aku memutuskan membuka tas sekolahku. Aku bahkan belum sempat pulang ke rumah, karena Mama memintaku untuk langsung ke rumah sakit sepulang dari kelas melukis.
Kini aku memilih untuk membuat sketsa orang-orang yang berlalu lalang di lobby. Selain untuk melatih kemampuanku, juga untuk mengusir rasa kesal pada kak Dhito yang tak kunjung datang.
Kulihat hasil sketsaku yang entah di kertas yang ke berapa, tak begitu buruk walau tak sebagus buatan kak Dhito. Ah kak Dhito, kapan sih aku bisa menjadi pelukis handal sepertimu?
Mengingat satu nama itu, aku langsung melirik jam tanganku. Mataku terbelalak sempurna, melihat jarum jam yang berada di angka sepuluh. Terlalu asyik membuat sketsa sampai lupa waktu.
Setelah membereskan kertas dan pensil ke dalam tasku, aku berjalan ke luar lobby. Memutuskan untuk menunggu di luar. Angin malam langsung menusuk kulitku yang hanya memakai seragam sekolah. Karena tak kuat dingin, aku kembali ke lobby.
Saat melihat jam yang sudah hampir jam sebelas, aku mulai gelisah takut sesuatu terjadi pada kak Dhito karena ponselnya kini tidak aktif. Aku memutuskan untuk menelpon Mama. Karena ternyata batre ponselku habis, aku menelpon melalui telepon resepsionis.
Entah yang ke berapa kalinya aku berusaha menelpon Mama maupun Papa, tak ada satupun yang menjawabnya.
Karena si Mbak resepsionis terus menatapku dengan tatapan aneh, aku memutuskan untuk menelpon yang terakhir kalinya. Sebuah keajaiban, Mama menjawab teleponnya di sambungan pertama.
"Ma, kak Dhito mana? Kenapa gak dateng juga, aku nunggu di lobby udah berjam-jam. Aku..."
"Sayang tunggu! jangan kemana-mana, Mama sebentar lagi datang."
Hanya itu yang diucapkan Mama, lalu sambungan teleponnya terputus. Setelah mengucapkan terimakasih pada resepsionis, aku kembali duduk di tempatku tadi. Benakku berkelana entah kemana, memikirkan berbagai macam kemungkinan.
Hanya berselang beberapa menit, di luar aku melihat Mama dan Papa turun dari mobil. Hanya saja bukan mobil yang biasa mereka gunakan, melainkan mobil berwarna putih milik rumah sakit bertuliskan 'ambulance'.
Aku berlari menyusul Mama dan Papa yang tengah mengikuti dua orang perawat yang mendorong brangkar menuju IGD. Aku berhasil menyusul mereka, aku berjalan menempel di belakang Mama tanpa mengatakan apapun. Fokusku kini memandang tubuh yang bersimbah darah, namun wajahnya masih kukenali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Most
Teen FictionArdelia Putri Wijaya, cewek populer di sekolah yang digilai para cowok di SMA Teratai. Karena kepopulerannya itu ia membuat sebuah tantangan untuk dirinya sendiri. Selama ia menjadi siswi di SMA Teratai, Ardelia harus berpacaran dengan sepuluh dari...