Perjuangan setiap siswa kelas X dan XI berkutat dengan bermacam jenis soal selama seminggu terakhir, telah usai. Hanya tinggal menunggu hasil dari setiap usaha dan kerja keras mereka selama dua semester.
Seperti halnya murid lain, Delia mulai merapikan alat tulis di mejanya. Hanya saja raut wajah lega dan bahagia yang terpancar di setiap wajah murid lainnya, tak nampak sedikitpun di wajah Delia. Tangannya hanya bergerak berdasarkan perintah otaknya tanpa ada rasa semangat sedikitpun, karena tak seperti yang lainnya yang akan menghabiskan waktu pasca UKK dengan bersenang-senang, Delia hanya akan pulang ke rumah seorang diri tanpa tujuan pasti, rutinitasnya selama seminggu terakhir, hambar.
"Delia!"
Suara panggilan Pak Wira menyadarkan Delia yang tengah melamun tak jelas.
"Iya Pak," jawabnya.
"Tolong kemari!"
Delia berjalan menuju meja Pak Wira dengan perasaan cemas. Cemas akan apa yang akan dikatakan Pak Wira.
"Apa nilai gue jeblok lagi?" Batinnya tak menentu.
Dari kejauhan Sarah memeperhatikan Delia, pandangan mata mereka sempat bertemu tapi Sarah langsung membuang muka membuat Delia semakin down.
Delia berdiri di depan Pak Wira dengan kepala menunduk, jantungnya mulai berdegup tak beraturan karena gugup. Ini tak pernah terjadi pada Delia sebelumnya, sekalipun setiap guru memarahainya karena nilainya yang selalu di bawah rata-rata. Tapi kali ini lain lagi, karena ia telah belajar mati-matian untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Dan ternyata hasilnya tak bisa lebih baik membuat semangatnya yang tersisa kini telah kandas.
"Tolong bantu saya bawa kertas-kertas ini!"
"Hah???" Pertanyaan refleks Delia mendengar perintah Pak Wira.
"Kenapa? Gak mau? Saya bukan nyuruh kamu ngerjain ulang semua soal ini, cuma minta bantuin ba..."
"Iya Pak!" Potong Delia sambil mengambil tumpukan kertas soal ujian tadi.
Pak Wira hanya tersenyum simpul melihat tingkah Delia. Ia berjalan keluar kelas dengan Delia mengekor di belakangnya.
Mereka berjalan dalam kebisuan menuju kantor guru yang lumayan jauh dari kelas Delia. Selama berjalan Delia tak henti-hentinya berdo'a dalam hati supaya Pak Wira tidak memberinya kabar buruk.
"Taruh di sini!" Pak Wira menunjuk ruang kosong di mejanya yang penuh tumpukan buku dan lainnya.
Delia mengikuti perintah Pak Wira tanpa mengucapkan apapun. Hatinya belum lega sedikitpun karena Pak Wira belum mengatakan apapun, ini seperti ketenangan sebelum badai.
"Kamu kenapa tegang gitu?" Tanya Pak Wira memperhatikan bahasa tubuh Delia yang kentara penuh ketegangan.
"Nggak apa-apa Pak," jawabnya pelan.
"Kamu pasti tahu, saya minta bantuan kamu bawain semua ini hanya alibi. Apa kamu tahu alasan sebenarnya?"
Delia mengangguk mengiyakan.
"Apa memangnya?"
"Nilai saya pasti jelek lagi, Bapak mau marahin saya 'kan?"
Pak Wira tertawa kecil mendengar jawaban polos Delia.
"Kamu memang sudah berubah, biasanya kamu cuek setiap saya marahin. Sekarang malah tegang kaya gini, padahal saya belum bahas nilai kamu."
"Maksud Bapak?" Tanya Delia tak mengerti.
"Tanpa menyebutkan berapa nilai kamu, saya sudah tahu kamu sudah berubah menjadi lebih baik. Kamu lebih perduli pada pelajaran, terbukti dari cara kamu yang dapat nilai jelek."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Most
Teen FictionArdelia Putri Wijaya, cewek populer di sekolah yang digilai para cowok di SMA Teratai. Karena kepopulerannya itu ia membuat sebuah tantangan untuk dirinya sendiri. Selama ia menjadi siswi di SMA Teratai, Ardelia harus berpacaran dengan sepuluh dari...