Seorang pria duduk di kursi menatap nanar ke layar komputer di depannya yang menampilkan gambar seorang gadis tertawa lepas di atas sebuah batu besar di tengah sungai. Gambar di layar berganti, masih dengan gadis yang sama hanya saja dengan latar berbeda. Jernihnya air sungai telah berganti menjadi hijaunya pesawahan. Si gadis tampak berdiri merentangkan kedua tangannya dengan kepala menengadah ke birunya langit. Gambar berganti lagi, menampilkan si gadis yang memainkan benang layangan. Senyum manis memperindah wajahnya yang cantik.
Di dalam kamar berukuran 2×3 itu, El sibuk dengan dunianya sendiri. Melihat setiap kenangan yang tersimpan rapi di komputernya. Kenangan manis si gadis yang ia cintai.
Berhari-hari telah berlalu tanpa kabar apapun dari Delia. Sejak pengakuannya malam itu, El tak pernah melihat Delia. Bukan berarti ia tak mencari tahu tentang kabar Delia, ia hanya mengikuti arah permainan Delia yang tak menginginkannya. Sebenarnya setiap hari El selalu mencari tahu kabar Delia melalui berbagai cara tanpa harus berinteraksi langsung dengan Delia. Salah satu caranya El sampai harus meminjam ponsel Eve dengan alasan ma mengirim email, padahal ia menggunakan media sosial kakaknya itu untuk sekedar menjadi stalker kegiatan Delia di medsos.
Pandangan El beralih dari layar komputer ke arah topi yang tergeletak di dekat keyboard. Lalu ditatapnya miris sebuah jaket yang tergantung menempel di dinding. Dua benda yang menjelaskan bahwa harapan El telah pupus.
"Ya ampun El!" Teriakan Eve menginterupsi kegalauan El.
"Apaan sih kak?" Tanya El malas.
"Ini apa?"
Eve menunjuk beberapa poster dan foto yang biasanya tertempel di dinding kini tergeletak tak beraturan di atas kasur.
"Dari tadi kakak nungguin kamu buat beresin ruang tamu bareng-bareng, eh kamunya malah asyik duduk depan komputer. Ini lagi barang-barang kamu bukannya diberesin malah diberantakin begini."
Eve terus mengomel sambil memunguti satu persatu barang tersebut. "Mau kamu simpen, buang, atau dibakar sekalipun itu terserah kamu. Tapi jangan diberantakin gini dong. Kerjaan kita masih banyak El."
"Kak please...! Gak usah ngomel terus, capek tahu!"
"Kakak lebih capek, apalagi merhatiin kamu yang leha-leha terus. Waktu kita gak banyak El, belum bersihin rumah, belum..."
"Aku janji besok kita bersihin bareng-bareng," potong El cepat.
"Gak bisa! Besok kita harus beli koper. Koper yang ada gak akan muat."
"Kita bisa beli koper sorenya."
"Sorenya kita harus ke rumah Om Hendra. Gak enaklah El sama Om Hendra, masa rumahnya mau kita tinggalin tapi berantakan. Dia udah ngasih kita tempat tinggal secara cuma-cuma, jadi udah sepantasnya kita merawat rumah ini dengan baik sampai kita pergi dari rumah ini."
"Jadi, sekarang maunya kakak gimana?" Tanya El yang mulai kesal dengan cerocosan kakaknya.
"Hari ini jadwal kita bersihin rumah. Harus!"
"Oke! Tapi sekarang kakak keluar dulu, biarin aku beresin kamarku."
El meraih sebuah bingkai poto yang berisi potret ia dan ayahnya. "Lagian enak aja ini harus dibuang, sekalipun gak dibawa kan bisa di simpan."
"Terserah kamulah!"
"Pokoknya awas kalau kamu gak keluar dalam satu jam, kakak cincang kamu!" Ancam Eve.
"Iya! Udah keluar sana!"
Eve mencebik berjalan menuju pintu, tapi kemudian berbalik lagi.
"Apa lagi?" Tanya El yang sedang memasukkan bingkai foto ke dalam kardus.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Most
Roman pour AdolescentsArdelia Putri Wijaya, cewek populer di sekolah yang digilai para cowok di SMA Teratai. Karena kepopulerannya itu ia membuat sebuah tantangan untuk dirinya sendiri. Selama ia menjadi siswi di SMA Teratai, Ardelia harus berpacaran dengan sepuluh dari...