"El."
Satu nama itu terlontar dari mulut Delia saat mengenali dengan jelas siapa pria di depannya.
Mata El yang sejak tadi menatap setiap gerak-gerik Delia, kini mulai meredup, kepalanya tertunduk lesu, ia tertangkap basah.
Dengan menundukkan kepala karena tak lagi berani menatap Delia, El menunggu reaksi berikutnya dari Delia. Ia telah siap jika harus menerima makian atau tamparan sekalipun.
Bermenit-menit berlalu, tak ada reaksi apapun dari Delia. Ia masih terus memandang El yang sedang menunduk. Hanya saja pandangan itu kini bukan lagi dipenuhi rasa penasaran, melainkan rasa tak percaya sekaligus kecewa.
Otak Delia memutar kilas balik semua yang terjadi dimulai dari surat kaleng yang ia terima sampai ia tersekap di sini. Bagaimana si pengirim surat mengarahkan pikirannya agar terus tertuju pada Sarah, dengan menghadirkan banyak kenangannya bersama Sarah, hingga ia tanpa ragu memakan makanan yang ada, makanan yang mungkin telah dicampur obat tidur karena setelahnya ia tertidur. Semuanya tersusun rapi sampai Sarah dan kedua orang tuanya datang seperti telah direncanakan sebelumnya.
Delia menatap El lekat-lekat, mencoba meneliti wajah pria di hadapannya sambil berharap orang yang ada di depannya ini bukanlah orang yang sama dengan orang yang telah menyekapnya.
Saat ia menatap mata El yang tak lagi menunduk, ia sadar harapannya telah musnah. Itu adalah mata yang sama dengan yang ia lihat saat tak sengaja mereka beradu pandang tadi. Mata yang telah menyaksikan saat Delia berada dalam kondisi terburuk. Malam ini mata itu telah menjadi sumber ketakutannya. Ia mengingat dengan jelas semua kata-kata pria itu tadi. Tidak ada ancaman berarti yang membahayakan nyawanya, tapi siapapun yang ada di posisinya tadi pastilah akan sangat ketakutan karena berada dalam sekapan seorang psikopat yang terobsesi padanya. Sekarang ia tahu dari mana asalnya perasaan tak asing tiap kali pria itu menyentuhnya, bahkan saat memeluknya. Semua itu mengingatkan Delia pada El yang menghiburnya saat ia terpuruk dengan menghapus setiap tetesan air matanya dan memeluknya. Saat itu El mungkin menjadi sumber kekuatannya. Tapi saat ini El telah menjadi sumber ketakutannya.
Meski semua fakta menjurus pada El, hati kecil Delia masih berharap asumsinya salah. Karena walau bagaimanapun El tak mungkin menjadi psikopat yang terobsesi padanya. Apalagi sampai harus melibatkan kedua orang tuanya yang ia yakini memang sudah direncanakan. Jadi, jika memang El yang melakukan semua ini, apa motifnya?
El kembali memandang Delia yang masih saja bergeming. Hanya matanya yang berbicara, menyiratkan rasa kecewa dan takut.
Takut?
Apakah Delia takut padanya?Memikirkan Delia menjadi takut padanya membuat El merasa jauh lebih takut dari pada Delia yang membenci dirinya.
Melihat diamnya Delia saat ini sungguh menyiksa El, ia lebih baik dimaki-maki atau ditampar sekalipun dari pada didiamkan seperti ini karena justru membuat rasa bersalahnya semakin menjadi.
Ruangan yang kini lumayan terang itu, terasa begitu hening, sunyi sepi seolah tak ada seorangpun di dalamnya. Bahkan tak terdengar suara denting jarum jam dinding karena memang tidak ada jam di sana. Hanya terdengar samar suara kendaraan dari luar.
Merasakan kesunyian yang lebih mencekam dari kuburan membuat Sarah merasa tak nyaman. Sarah memutuskan untuk mengakhiri perang tatapan antara El dan Delia. Ia berdiri di antara mereka tanpa menghalangi pandangan keduanya.
"Sebelum lo berpikir buruk tentang El, gue harus meluruskan semuanya. Semua ini memang rencana El dan dengan berat hati gue akuin kalo gue juga terlibat."
Delia mengalihkan pandangannya pada Sarah yang berdiri di sampingnya.
"Jangan berpikir negatif dulu, kita bukan mau nyelakain lo. El berencana memberi sedikit shock therapy buat orang tua lo dan gue dukung rencana dia dengan menyimpan surat di tas lo, nyiapin tempat ini, dan juga bikin kedua orang tua lo datang kesini."
Delia menatap Sarah dengan sorot tak percaya. Ia mendengarkan setiap kata yang terlontar dari mulut Sarah, membenarkan setiap kecurigaannya tentang kehadiran kedua orang tuanya, galeri yang memang hanya Sarah orang luar yang tahu tentang tempat itu, dan point utamanya adalah ia benar Sarahlah yang mengirim surat kaleng itu.
"Del, mungkin cara kita salah. Dan berresiko. Tapi kita gak punya cara lain selain membuat mereka merasakan takut akan kehilangan lo, supaya mereka sadar lo itu masih ada, masih anak mereka, masih butuh kasih sayang mereka. Mereka harus tahu bagaimana kesepiannya kamu selama ini, tak dianggap keberadaannya oleh orang tua lo sendiri, bahkan disaat lo sedang terpuruk..."
Sarah menghentikan kalimatnya. Menengadahkan kepalanya sebentar untuk menahan air mata yang memaksa untuk keluar. Usaha yang sia-sia karena air matanya berhasil menembus pertahanannya. Sambil menangis tersedu Sarah menatap Delia yang matanya juga sudah memerah.
"Ini sudah terlalu lama Del, gue gak mau lo terus kesepian kaya gini. Selama ini sebagai sahabat lo, gue emang gak berguna karena gak bisa bantu lo keluar dari rasa sepi lo, gue gak bisa bikin orang tua lo kembali kaya dulu. Dan saat El nawarin rencana ini, gue punya harapan gue bisa jadi sahabat yang sedikit berguna buat lo. Dengan melihat reaksi mereka saat hampir kehilangan lo, kita akan tahu seberapa besar rasa takut mereka dan seberapa besar arti lo bagi mereka. Gue lihat itu di mata mereka, rasa takut akan kehilangan lo, itu artinya mereka masih peduli sama lo. Yang gue dan El lakukan memang gak benar, penuh drama tapi..."
Delia menghentikan kalimat Sarah dengan meletakkan telunjuknya di bibir Sarah.
Hampir saja Sarah melanjutkan kalimatnya, mengabaikan telunjuk Delia yang sudah ia lepaskan dari bibirnya. Tapi ia urungkan saat melihat gelengan lemah kepala Delia. Ini tidak akan mudah bagi Delia, ia pasti kecewa sekaligus lelah. Sarah mencoba memahami itu.
Pandangan Delia beralih pada El yang langsung kembali menunduk, tak kuasa melihat sorot mata Delia yang terlihat takut, kecewa, marah, sekaligus sedih di saat bersamaan. Memang sulit menggambarkannya.
"Dramanya bagus," ucap Delia.
Suaranya tertahan, seolah menahan luapan emosi yang ia rasakan saat ini.
"Tapi aku mohon... " Delia meletakkan kedua tangan di dadanya, memaksa El kembali mengangkat kepalanya tak percaya dengan apa yang dilakukan Delia.
"Jangan libatkan aku dalam dramamu. Ini hidup aku, dan kamu bukan bagian dari itu."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Delia berbalik dan bermaksud pergi tapi saat melihat kedua orang tuanya berdiri tak jauh dari tempatnya, ia kembali bergeming.
Rasa takut baru menjalar di pikirannya, takut akan apa yang dipikirkan kedua orang tuanya saat ini. Jika mereka memikirkan dirinya terlibat dalam drama yang dibuat El ini, mungkin mereka akan semakin menjauhi Delia.
Entahlah!! Saat ini Delia lelah, fisik maupun bathinnya.
Delia melangkah pergi meninggalkan mereka semua yang masih mematung, ia bahkan mengabaikan panggilan Sarah yang terus mengikutinya.
Kedua orang tua Deliapun turut menyusul, setelah Andra Papa Delia menepuk bahu El.
El menatap kepergian Delia dengan penuh rasa bersalah. Tak ada makian, tak ada tamparan, tapi ia terluka begitu dalam hanya karena sorot mata Delia dan juga kalimat terakhirnya. Dan ia merasa jadi orang paling brengsek saat Delia meletakkan kedua tangan di depan dada seperti gerakan orang memohon padahal dirinyalah yag bersalah, yang seharusnya meminta maaf pada Delia.
Kembali berputar di otaknya saat ia melakukan hal-hal yang membuat Delia merasa terintimidasi. Masih ia ingat wajah ketakutan Delia yang membuat El hampir saja mengurungkan niatnya untuk melanjutkan rencana gilanya karena tak tahan melihat sorot mata Delia yang dipenuhi ketakutan. Sorot mata ketakutan yang masih ia lihat di mata Delia sesaat sebelum pergi.
El takut, jika ia akan menjadi sumber ketakutan bagi Delia.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/96322372-288-k934975.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Most
Genç KurguArdelia Putri Wijaya, cewek populer di sekolah yang digilai para cowok di SMA Teratai. Karena kepopulerannya itu ia membuat sebuah tantangan untuk dirinya sendiri. Selama ia menjadi siswi di SMA Teratai, Ardelia harus berpacaran dengan sepuluh dari...