"Minum dulu!" Sarah menyerahkan segelas air putih pada Delia.
"Thanks." Delia meraihnya, lalu meminumnya sedikit sebelum meletakkannya di atas meja di depannya.
Sarah duduk di samping Delia, menarik bahu Delia agar bersandar padanya. Sejak tadi Delia tidak menangis, tapi Sarah tahu hati Delia sangat terluka. Delia dipaksa jatuh saat sedang melayang bersama harapannya.
Terdengar nada dering ponsel Delia dari dalam tas. Saat ia hendak mengambil tasnya yang ada di tempat tidur, Sarah lebih dulu mengambilnya.
Sarah meringis saat melihat caller id di layar ponsel dan menunjukkannya pada Delia. Delia menggeleng cepat, menolak mengangkat telpon tersebut.
Karena Delia menolak, Sarah berinisiatif untuk menjawabnya.
"Halo sayang, kamu dimana? Pergi kok gak bilang dulu, Mama sama Papa kan khawatir. Katanya kita mau makan malam bareng."
Kalimat beruntun dari Mama Delia langsung terdengar saat Sarah menempelkan ponsel Delia di telinganya.
"Kamu sekarang dimana? Biar Mama jemput."
"Halo Tante..."
"Sarah?"
"Delia lagi di rumah aku."
"Lagi ngapain? Kok dia gak bilang mau ke rumah kamu, Tante jadi khawatir tadi."
"Gak apa-apa kok Tante, kita lagi ngobrol-ngobrol aja, biasalah cewek lagi ngobrolin buat prom night. Tante tahu sendiri gimana ribetnya persiapan cewek buat prom night."
"Kenapa Delia gak cerita yah sama Tante? Padahal Tante bisa bantu pilihin gaun buat kalian. Emang prom night kapan?"
"Masih seminggu lagi."
"Masih ada waktu, nanti ngobrolin persiapamnya di sini aja biar Tante bantu."
"Iya Tan."
"Oh iya, sampai lupa. Delianya mana? Tante mau ngobrol dong."
Sarah menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu bertanya pada Delia dengan isyarat menunjuk-nunjuk ponsel.m dan Delia secara bergantian.
Paham dengan maksud Sarah, Delia menggeleng lalu menempelkan kedua tangannya di pipi sambil memejamkan matanya.
Sarah kembali menempelkan ponsel di telinganya.
"Maaf Tante, Delianya lagi di toilet kayanya masih lama deh."
Delia berdecak mendengar alasan Sarah, padahal Delia memintanya untuk beralasan sedang tidur. Tapi tak apalah, itu tak penting, yang penting Delia tidak perlu berbicara dengan Mamanya di telepon, tidak untuk saat ini, Delia belum siap.
Sarah kembali duduk di samping Delia setelah Mama Delia menutup telelponnya.
"Mereka khawatir, lo pergi gak bilang-bilang takut lo kenapa-napa."
Delia tersenyum miris mendengar ucapan Sarah. Seharusnya Delia bahagia karena orang tuanya kini sudah mengkhawatirkan dirinya meski Delia baru pergi beberapa jam.
Bukankah itu artinya semua baik-baik saja?
Tidak!
Semuanya tidak baik-baik saja. Tidak setelah ia mendengar ucapan tamu yang bersama orang tuanya tadi sore.
"Jika kalian tidak keberatan, saya akan mengajukan berkas perceraian ini paling lambat tiga hari lagi."
Setiap kata yang terucap dari mulut si tamu yang ternyata pengacara itu, masih Delia ingat dengan jelas di kepalanya. Bagaikan bom yang meledak menghancurkan kepalanya hingga tak nyaris kehilangan kesadarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Most
Teen FictionArdelia Putri Wijaya, cewek populer di sekolah yang digilai para cowok di SMA Teratai. Karena kepopulerannya itu ia membuat sebuah tantangan untuk dirinya sendiri. Selama ia menjadi siswi di SMA Teratai, Ardelia harus berpacaran dengan sepuluh dari...