Hari Bersama

3.6K 188 2
                                    

Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela yang tertutup gorden tipis, mengusik mata Delia yang masih tertutup rapat. Karena merasa terganggu, ia mengucek matanya secara perlahan membukanya. Sedikit menyipit karena belum terbiasa dengan cahaya yang masuk melalui jendela. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan, ia tak menemukan El dimanapun. Permadani tempat pria itu tidur sudah rapi, selimutnyapun sudah tidak terlihat, dan guling yang dipakai El kini ada dalam pelukannya.

Delia menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, lalu beringsut turun dari ranjang. Lalu melipat selimut yang dipakainya dan merapikan tempat tidurnya. Setelah menyelesaikan pekerjaanya, ia berjalan menuju jendela, menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari-jari tangan.

Tangannya menyibakkan gorden yang menutup jendela, terkesima, takjub melihat pemandangan yang ada di depannya. Dari balik jendela terlihat sungai yang mengalir deras dengan bebatuan besar di tengahnya. Diatasnya, hamparan sawah yang diselingi pepohonan. Dan setengah gunung yang masih tertutup awan sebagai ujung dari penglihatannya. Sebuah karya Tuhan yang begitu memanjakan mata. Sekarang ia tahu dari mana suara berisik yang didengarnya sejak ia datang, itu suara arus sungai yang cukup deras.

Ia membuka jendela dan merasakan hawa dingin menelusup kulitnya yang masih tertutup jaket, meskipun sang surya sudah berada di singgasananya, hawa dingin masih sangat terasa.

Suara pintu terbuka mengusik kegiatan Delia, El muncul dari balik pintu dengan nampan di tangannya. Penampilan El lebih segar dengan kaos oblong yang dipakainya.

"Udah bangun?" Sapanya menghampiri Delia, meletakkan nampan di atas meja kecil dekat jendela.

"Cuacanya udah cerah tapi masih aja dingin," keluh Delia duduk menyandar ke meja di samping El.

"Namanya juga deket gunung." El memasukkan sesendok gula pasir ke dalam cangkir kecil yang sudah disediakan, lalu mengisinya dengan teh panas yang masih mengepul dari dalam teko kecil yang ada di atas nampan.

Delia memperhatikan El yang piawai melakukan tugasnya, ia juga tertarik pada set teko kecil beserta cangkirnya yang begitu unik. "Cangkirnya bagus," komentar Delia mengangkat teko kecil berisi teh tersebut.

"Ini cangkir teh kesayangan Mama," jawab El ia mengambil sendok dan mengaduk teh miliknya, saat ia akan mengaduk teh milik Delia, gadis itu mencegahnya dengan mengangkat cangkir teh miliknya.

"Kenapa?" Tanya El meletakkan kembali sendok ke atas nampan.

"Aku lebih suka membiarkan gulanya larut dengan sendirinya." Delia menyeruput sedikit tehnya yang terasa tawar dan masih panas mengalirkan hawa panas ke tenggorokan hingga berakhir di perut.

"Awalnya memang tawar, sedikit pahit. Tapi kemudian akan terasa sedikit manis, lumayan manis, manis, semakin manis dan akan berakhir sangat manis." Delia kembali menyeruput tehnya yang terasa sedikit manis.

"Aku berharap hidupku seperti teh ini, meski kini hambar tapi akan berakhir sangat manis." Delia kembalimenyeruput tehnya yanh kini terasa manis dalam kadar yang pas.

"Filosopi teh," gumam El tersenyum menyeruput tehnya.

"Itu kebiasaan Papa," ucap Delia suaranya berubah sedih.

Menangkap kesedihan Delia, El langsung mengalihkan topik dengan menceritakan temannya Kak Eve yang mengajaknya sarapan bersama di rumah utama.

"Gimana? Mau aku ambilin sarapannya kesini?"

Delia menggeleng sebagai penolakan, "Gak usah aku belum lapar."

"Beneran nih belum lapar," ujar El manggut-manggut, "padahal semalaman aku gak bisa tidur gara-gara suara perut kamu."

The MostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang