Perasaan

2.3K 140 8
                                    

Mobil Delia yang sejak tadi melaju dalam kecepatan tinggi kini mulai melambat dan berhenti tepat di jembatan.

Delia turun dari mobil, berjalan menuju pagar jembatan. Tak memperdulikan sekelilingnya yang gelap gulita dan juga tubuhnya yang menggigil kedinginan, ia berdiri tepat di pagar jembatan.

Suara gemuruh air sungai terdengar diiringi bunyi jangkrik dari sawah yang tak jauh dari sungai. Sambil memejamkan mata Delia menikmati suara-suara yang saling bersahutan itu bagaikan alunan melodi yang menenangkan pikirannya yang galau.

Tapi hatinya tak bisa diajak kompromi, karena dengan seenaknya hati itu memaksa otak Delia untuk mengingat kembali sosok itu. Memutar ulang kejadian demi kejadian yang menyatukan mereka.

Sosok El yang sempat ia pandang sebelah mata. Usahanya menjadikan El target sampai membawanya pada pengalaman menyenangkan sekaligus menakutkan, pertama kali naik bis dan dibentak preman. El yang menjauh, lalu mendekat dan tiba-tiba memintanya pacaran dengan cara yang anti mainstream. Hari-hari pacaran yang dilalui dengan hal-hal menyenangkan tapi bermanfaat, seperti membangkitkan Delia yang dulu. Fakta tentang siapa El yang dulu seolah tak mempengaruhinya.

Sampai akhirnya fakta tentang sosok El yang adalah pangeran impian sahabatnya, seperti melempar Delia pada kenyataan pahit. Ia begitu menikmati kebersamaannya dengan El sampai lupa itu semua hanyalah permainan yang dibuatnya sendiri. Tak ada kerelaan dalam hatinya saat harus melepaskan El demi sahabatnya yang justru juga menjauh, meninggalkannya dalam kesendirian.

Hari-hari berikutnya ia lewati dalam kesendirian. Tapi El seolah tak pernah jauh darinya. El tetap menjadi malaikat baginya, membangkitkannya dari keterpurukan, menyelamatkannya dari kehancuran.

Sampai akhirnya pengakuan itu meluncur dari mulut El, tentang sebuah perasaan, tentang cinta yang dipendamnya pada Delia.

Perasaan yang justru membuat Delia menjauh karena ia sadar perasaan itu juga ada dalam hatinya. Perasaan yang membuatnya takut kehilangan. Perasaan yang membuatnya takut akan karma dari perbuatannya pada orang-orang yang dulu mencintainya.

Tapi sekarang, disaat Delia tak perduli akan apapun, disaat ia ingin mengakui tentang perasaannya, keadaan seolah mempermainkannya, kesempatan itu tak ada lagi, harapan itu mungkin sudah musnah.

Setitik air jatuh dari matanya yang terpejam. Dalam hati ia memohon 'jika saja kesempatan itu masih ada, sekecil apapun itu tak akan ia sia-siakan'.

Delia menikmati hembusan angin yang menghantarkan hasa dingin menusuk kulitnya. Dalam kegelapan diperhatikannya air sungai yang mengalir deras.

Senyumnya mengembang mengingat moment indah saat ia berada di sungai itu, bermain air sesukanya, tertawa bahagia tanpa beban bersama El.

Rasa rindu menyelinap ke dalam hatinya, menginginkan moment itu terulang kembali.

Mungkinkah?

"Dingin," ucap sebuah suara beriringan dengan sebuah jaket yang tersampir si pundak Delia.

Delia berbalik dan mendapati seseorang di sana yang kini mengambil kembali jaket itu. Diraihnya tangan Delia lalu memakaikan jaket itu dengan semestinya.

Setelah jaket itu terpasang di tubuh Delia dengan benar, orang itu berdiri di samping Delia. Mengikuti jejak Delia tadi, memperhatikan derasnya air sungai.

Orang yang tiada lain tiada bukan adalah El memeluk tubuhnya yang dibalut sweater.

"Sweaternya hangat, wangi tubuh kamu."

Pipi Delia bersemu merah mendengar ucapan El. Untung saja di sekitarnya gelap, jadi El tidak akan melihat.

Mengabaikan hatinya yang berbunga-bunga, Delia harus segera memanfaatkan kesempatan yang didapatnya ini. Ia harus mengatakan apa yang ingin ia katakan.

The MostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang