Catching Feelings

2.9K 174 14
                                    

Hai...sekali lagi aku mau minta pendapatan kalian nih...

Menurut kalian Hana cocok nya sama siapa?

Panji?

Atau...

Yudha?

Makasih yang selama ini udah baca cerita aku sama kasih votment nya...



"Sampai kapan kamu akan terus menghindar dari aku?"

Hana hanya menunduk dan meremas tali tas yang berisi baju pesanan itu. Entah kenapa kali ini Hana takut menatap mata Panji. Dia takut dinding yang selama ini Dia buat goyah begitu saja hanya dengan menatap mata hazel dan tajam milik Panji.

Panji menghela nafas. "5 tahun, Han. 5 tahun kita engga ketemu, akhirnya aku bisa ketemu lagi sama kamu. Akhirnya aku bisa liat lagi wajah kamu. Akhirnya aku bisa liat lagi senyuman kamu yang selalu jadi favorit aku. Tapi, apakah akhirnya kamu bisa Maafin aku atas kesalahan aku dulu?"

Hana masih menunduk, dia belum bisa menatap mata itu. Jangan saat ini, dia belum siap. Dia belum siap harus terjatuh lagi. Jika dia terjatuh sekarang, lalu apa gunanya dia pindah ke luar negeri?

Panji menatap Hana kembali, setelah dia mengisyaratkan kepada orang-orang yang memakai jas untuk terlebih dahulu masuk ke dalam lift.

"Kali ini, biarin aku berjuang buat kamu. Han." Kata Panji tersenyum miris melihat Hana masih menundukkan kepalanya dan pergi menyusul orang-orang tadi.

***

Sedari tadi Hana sibuk mengaduk-aduk green tea didepannya. Sesekali dia menatap layar Handphonenya dengan gusar. Sudah satu jam Hana menunggu Nova dicafe langganannya, namun orang yang Hana tunggu tidak kunjung datang.

Dengan terpaksa Hana mendial nomor telepon Nova.

"Anjrit!" Gumam Hana menekan tombol end pada layar Handphonenya.

Hana memutuskan untuk membayar green tea nya dan pergi dari sana. Dalam hati, Hana terus mendumal dan mengeluarkan semua kutukan yang dia tau untuk Nova.

Padahal, saat ini Hana sangat membutuhkan teman curhat. Dan Nova telah berjanji akan menyusul ke cafe, tapi buktinya apa? Sudah satu jam Hana menunggu disana tapi tidak ada tanda-tanda Nova akan datang.

Entah kenapa sekarang dia sedang badmood walaupun dia sudah sampai dibutiknya. Hana melemparkan tasnya ke sofa dan menghempaskan tubuhnya ke kursi kerjanya. Dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk meredakan emosinya saat ini.

Tiba-tiba terdengar ketukan dari arah pintu. Hana menoleh ke sumber suara dan mendapati Sita, karyawannya.

"Han." Panggil Sita.

Mungkin kalian mikir, kok karyawan engga sopan banget ke atasan. Ya, Hana menyuruh semua karyawan memanggil nya Hana saja. Karena dia tidak mau ada dinding pembatas antara Hana dan karyawannya.

"Kenapa?" Tanya Hana malas.

Sita berjalan menghampiri Hana. "Ada telepon dari Nova. Mau lo terima? Tapi gue liat lo lagi engga mood, apa gue bilang aja ke dia kalo lo lagi engga mau diganggu."

"Sambungin ke gue sekarang!"

Sita mengangguk dan keluar dari ruangan Hana tanpa banyak bertanya.

Beberapa saat kemudian, telepon di meja Hana berdering.

"Halo!" Ketus Hana.

"Wow, santai dong."

"Anjrit lo, Nova!!! Gimana gue bisa santai? Gue udah nunggu lo satu jam, Nov. Satu jam! Dan lo engga dateng. Gue butuh lo saat ini, Nov. Tapi lo nya malah engga dateng." Kata Hana yang tidak sadar mengeluarkan cairan bening dari kedua matanya.

"Maafin gue. Tadi ada mata kuliah tambahan."

"Kan lo bisa kasih tau gue!" Kata Hana sedikit serak, menahan tangisnya.

"Sorry, handphone gue lowbat. Gue lupa bawa power bank. Ini juga gue pake handphone Dandi."

"Alesan."

"Beneran, ya ampun. Oke, sebagai permintaan maaf gue. Lo mau makan apa? Entar gue bawain ke butik lo."

"Beneran?!"

"Beneran, kapan gue boong?"

"Barusan. Gue minta apapun itu boleh?"

"Hehehe...itu kan kepepet. Yes, apapun itu. Gue beliin."

"Oke, gue mau gado-gado sama juice jeruk. Plus ramen sama green tea."

"Banyak amat. Untung kantong gue lagi tebel. Beneran cuman segitu? Mumpung gue lagi baik loh, jarang-jarang gue kaya gini."

"Udah, cuman segitu. Gue tunggu dibutik satu jam lagi. Gak. Pake. Lama."

"Iya bawel." kata Nova memutuskan panggilan mereka.

***

40 menit kemudian...

Nova datang ke ruangan Hana dengan tangan yang penuh makanan pesanan Hana.

"Nih, gue nepatin janji kan? Makanan udah ada. Dan juga ini engga lebih dari 1 jam." Kata Nova melihat jam tangan yang berada dipergelangan tangannya.

"Iya, makasih." Kata Hana berjalan ke arah sofa dan duduk didepan Nova.

"Btw, lo nyuruh ketemuan mau ngapain?"

"Kita makan dulu, baru gue ceritain."

"Gue penasaran, Anjrit!"

Hana menggeleng. "Makan dulu, buruan."

"Udah, cepet cerita!" Kata Nova menatap tajam ke arah Hana.

Hana menatap sekilas ke arah Nova. "Lo engga mau makan dulu?"

Nova menggeleng cepat. "Entar aja, buruan!!!"

"Oke." Hana terdiam sebentar. "Tadi gue ketemu sama Panji di perusahaan yang engga tau punya dia atau bukan, gue gak tau. Pas gue nganterin pesenan butik."

"Seriusan?! Terakhir gue ketemu sama dia sih dua hari yang lalu, di cafe langganan gue itu. Gak sengaja. Tapi gue denger sih emang dia itu sekarang mimpin perusahaan milik bokap nya gitu. Lo masih ada rasa sama dia?"

"Enggaklah." Jawab Hana.

"Kenapa?" Tanya Nova dan Hana hanya mengangkat kedua bahunya.

Nova mengangkat sebelah alisnya. "Bukan gara-gara Yudha?"

Tubuh Hana seketika mematung. Sudah lama dia tidak menyebut atau mendengar nama pria itu. Sejak hari pertama Hana pergi, dia tidak bertemu lagi dengan pria itu.

"Mau sampe kapan sih lo kaya gini? Sampe mati?"

Hana menatap tajam ke arah Nova. "Lo gak tau gimana rasanya jadi gue."

"Kata siapa? Lo gak tau gue hampir putus asa karena ngeliat lo untuk pertama kalinya ngurung diri dikamar waktu itu. Lo pikir gue engga ngerasain apa yang lo rasain waktu itu? Lo pikir gue seenak jidat nyuruh lo buat pindah ke luar negeri tanpa tau apa resiko nya entar?"

Hana hanya diam. Dia tau jika Nova juga menderita karena melihat keadaanya waktu itu.

Nova menghembuskan nafas beratnya. "Lo masih takut sampai sekarang? Tanyanya dengan lembut.

"Hm, mungkin." Gumam Hana.

"But, it's been 5 years, Han." Kata Nova menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan Hana hanya bisa membalasnya dengan senyuman tipis.

Jika kata orang, perasaan akan berubah kapan saja. Lalu, kenapa perasaan Cinta tidak mudah berubah? Kenapa yang selalu cepat berubah adalah perasaan Benci ke cinta? Tidak sebaliknya?

Bila Cinta cepat berubah, itu bukanlah Cinta yang sesungguhnya. Bila rasa Cinta cepat menghilang, lalu? Apa yang kemarin dia rasakan? Jika seperti itu, maka Cinta ibaratkan awan yang kapan pun bisa pergi bahkan menghilang.

SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang