"Saya suka, rambut baru kamu..."
Bela membelai kepala Tami menirukan gerakan David, sementara sahabatnya itu berusaha menahan tawa."Apa maksudnya coba? Saya suka rambut baru kamu, jadi ayo kita berkencan, gitu?" tanyanya menurunkan tangan.
"Atau saya suka rambut baru kamu, tapi nggak suka jerawat di pipi kamu?" lanjut Bela memegang sebelah pipi sambil mengingat betapa dekatnya dia dan David di pertemuan pertama mereka tadi. Dan menyesal, baru teringat satu jerawat perusak pemandangan, tumbuh di pipinya.
Tami gagal menahan tawa. "Trus dia ngapain lagi?" Tanya Tami kemudian.
"Yaudah gitu aja. Habis itu dia pergi. Ngebingungin banget kan?? Mck!"
Bela mendorong tubuh ke belakang menyandarkan punggungnya. Dia dan Tami sedang duduk di ruang santai dokter membicarakan pertemuan membingungkannya dengan David.
"Hmm, mungkin trik kamu kali yang kurang ngena," ujar Tami. Bela memang sedikit menyesal menggunakan trik murahan, 'menumpahkan minuman' untuk berbicara dengan orang itu.
Habis mau bagaimana lagi, selain belum direncanakan, pertemuan dengan pria itu cukup membangkitkan kembali hormon-hormon ABG-nya setelah sekian lama. Membuat otak pintarnya sulit berimprovisasi. Dan sepertinya dia harus latihan kardio supaya jantungnya nggak jumpalitan saat bertemu dengan orang itu.
Karena selain sosoknya yang enak dipandang, wangi parfumnya juga serasa membuatnya melayang. Bela nyaris tersesat saat sorot tajam itu berhasil mengunci matanya, sementara jarak mereka nyaris tidak ada.
"Iya kali ya," katanya menggeleng setengah frustasi.
"Tapi nggak sampai keceplosan manggil namanya kan? kalian kan belum kenalan?" ujar Tami lagi.
"Untungnya nggak," jawab Bela.
Sahabatnya mengangguk. "Jadi kamu manggil dia apa?"
"Pak," Tami langsung mendegus sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Bela nggak paham.
"Ya nggak bisa akrab dong kalau manggilnya bapak,"
"Trus manggil apa, Oom? Nanti disangkain genit lagi,"
"Astaga Belaaaa. Aku baru tahu kenapa kamu belum punya hubungan sama pria selain sibuk sama kerjaan, kenalan gini aja nggak lulus," Bela cuma mengangkat bahu, tidak menyangkal omelan sahabatnya.
Seperti yang Tami bilang, dia memang terlalu sibuk untuk menjalin hubungan dengan pria. Selain dia selalu belajar mati-matian diusia muda untuk mengejar sekolah kedokteran, dia juga harus berusaha keras melanjutkan pendidikan psikiater di tahun berikutnya. Jadi nggak ada waktu untuk curi-curi pandang sama gerombolan cowok atau keliling mal di akhir pekan tanpa alasan, apalagi menjalin hubungan.
Tami berdecak sebelum mengatakan, "Oke. Coba lihat poinnya. Dia bilang suka sama rambut kamu kan?" Bela mengangguk.
"Berarti mulai dari sekarang jangan sampai look bagian atas kamu berantakan," Tami menggerak-gerakkan telunjuk didepan mukanya.
"Ah! ya. Kamu juga perlu pakai make up," kata Tami lagi.
"Make up? Kan udah?" Bela menunjuk ke wajahnya sendiri.
"Bedak sama lipgloss anti pecah-pecah doang, kamu sebut make up?"
"Ahh..bukan ya," Bela mengangguk ragu sambil mengalihkan pandangan.
Sejujurnya, Bela merasa sedikit tidak setuju. Setelah mengubah penampilan dengan memotong pendek rambutnya, kenapa harus menambah dengan make up lagi? Apa wajah dengan lapisan berbagai warna selalu menarik bagi lelaki? Padahal dia lebih menyukai sesuatu yang apa adanya. Itu terasa lebih baik, menurutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My lovely PATIENT
Literatura FemininaQory Adisabela. Pskiater muda yang sedang menyelesaikan gelar Doctornya itu mendapat tugas akhir yang benar-benar tidak masuk akal, menurutnya. Yaitu menyembuhkan seorang CEO muda single dengan menjadi orang terdekatnya. Look the point, single d...