Lunch

6K 487 10
                                    


Setelah lima belas menit berkendara, mobil Dave berhenti di depan restoran tidak jauh dari RS. Dave membawa Bela ke restoran outdoor bernuansa keluarga dengan kolam ikan di tengah-tengah pondoknya.

Bela tersenyum merasakan angin sepoi menerpa wajahnya. Beberapa kali bersama Dave, dia selalu berada di tempat dimana hembusan angin mudah di rasakan. Dia mencatat dalam kepala. Dave menyukai tempat-tempat dimana angin berhembus kencang.

Dave menggenggam erat tangannya sambil berjalan menuju salah satu pondok lesehan yang kosong. Dave menungguinya membuka sepatu sebelum membuka miliknya sendiri.

"Tadinya aku pikir mau di ajak ke restoran mahal." Ujar Bela mengerling setelah mereka duduk berhadapan.

"Saya nggak suka makanannya." Jawab Dave mengangkat bahu. Masakan rumahan. Ah ya. Dave memang menyukai masakan rumahan. Pikir Bela mengangguk pelan.

"Kamu tidak suka tempatnya?" Tanya Dave.

Bela menggeleng. "Cuma sedikit heran." Jawabnya tersenyum lalu membuka buku menu yang sudah tersedia di meja saat pelayan datang.

Bela memesan nasi ayam rica-rica dan ice lemon tea, sementara Dave hanya memesan secangkir kopi. Katanya dia baru selesai meeting, makan siangnya sekalian di pertemuan itu.

"Enak?" tanya Dave setelah Bela menyantap makanannya.

Wanita itu mengangguk. "Kamu mau?" tanyanya menyendokkan nasinya lalu menyodorkannya ke Dave. Pria itu menggeleng dan langsung beralih meneguk kopi sambil meliriknya.

Bela nyaris tertawa. Dave pasti seperti kebanyakan pria dewasa lainnya yang menolak di suapi pacar di depan umum. Dia sendiri menganggap tingkahnya seperti anak ABG yang baru pacaran. Sengaja, mau menilai reaksi Dave.

Bela menghabiskan makanannya sedikit lebih cepat tanpa membuka percakapan lagi. Selain karena lapar, dia juga mau segera memulai konsultasi bertema makan siang yang sudah di rencanakannya.

Setelah piringnya nyaris kosong, Bela memperhatikan sekeliling. Tempat dan suasananya lumayan bagus. Beralih menatap Dave, pria itu sedang memandang kearah kolam ikan sambil megang secangkir kopi. Dave juga punya minuman yang membuatnya lebih rileks. Perfect. Bela meletakkan sendoknya.

"Jadi..." dia sengaja menahan ucapannya menunggu Dave menoleh.

"Apa saja yang kamu lakukan pagi ini?" tanyanya setelah pria itu menoleh.

Kening Dave mengerut samar. "Ke kantor." Jawabnya singkat lalu meneguk kopinya.

"Bisa..lebih detail?" tanya Bela ragu-ragu.

Dave memandangnya sebentar sebelum menahan senyum menyadari Bela sedang mencari tahu kebiasannya. "Minum kopi, memeriksa berkas. Meeting. Dan makan siang dengan kamu." Jawabnya menahan senyum.

"Aah..begitu." Bela mengangguk lalu lanjut bertanya. "Ada yang kamu keluhkan?"

"Maksud kamu?" tanya Dave bingung.

Bela memajukan tubuh. "Iya. barangkali ada yang mengganggu pikiran kamu? Sebagai dokter, mungkin aku bisa bantu cara mengatasinya."

Kerutan di kening Dave semakin dalam. "Kamu tidak sedang mewawancarai pasien saat kita makan siang kan?" ya ampun, Dave menyadarinya. Apa terlalu kentara?

"Karena...Saya bukan pasien kamu." Tangan Dave terulur membetulkan poninya. Ah ya, dia lupa harus bersikap bukan sebagai dokter saat bersama pria itu.

"Hm—ya. serasa konsultasi ya." Bela tersenyum canggung sambil menarik rambut kebelakang telinga. oke, ganti topik.

"Oh ya. Kamu waktu itu bilang, pernah tahu PTSD kan?" tanya Bela kemudian. Raut wajah Dave langsung berubah tidak nyaman sebelum mengangguk.

My lovely PATIENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang