Chance

6.2K 474 22
                                    


Guys, sorry bgt yah. Ini bukan sengaja lama2 update, lho. Tp mmg kehidupan nyata sedang kacau dan mood ancur parah. Jadi inspirasi makin susah nyambung sama settingnya.

Hope u enjoy this part yah, kalau berkenan komen juga boleh bangeet.

"Dok! pasien berdarah!"

Teriakan seorang suster itu baru menyadarkan Bela. Dia lantas segera menarik tangan Dave yang terangkat mau memukuli Bara untuk kesekian kalinya.

"Berhenti—Dave.." ucapnya ragu-ragu.

Sejujurnya dia masih tidak yakin pria yang ada didepannya itu adalah pria yang mengatakan ingin pergi untuk selamanya.

"Apa sikapmu memang seperti ini?!" tanya Dave nyaris membentak. Wanita itu mengerutkan alis tidak paham.

Dave menghempaskan tangannya. "Apa semua dokter begitu Bela, sembarangan memeluk pasiennya?!" Bela mengerjap beberapa kali. Baru ngeh Dave berbicara tentang Bara yang memeluknya.

"Bukan begitu—"

"Mck! Aku berusaha keras menahan kantuk untuk mengejar penerbangan terakhir, tapi kamu—Aargh!!" Dave mengusap kasar rambutnya yang basah sebelum berbalik dan berjalan ke luar gedung RS. Bela masih terdiam tidak tahu harus apa.

"Kamu mau membiarkan dia pergi begitu saja, Bela?" Suara Bara menyadarkannya. Bela lantas menoleh nyaris melototi pria itu. Gara-gara pria itu Dave jadi salah paham.

"Come on, don't be stupid." Ucap Bara lagi sebelum menyeka sudut bibirnya yang berdarah.

Bela mendengus sebelum beralih ke para suster. "Sus! Jahit bibir pasien yang terluka. Jangan gunakan bius, biar dia kesakitan!" Bara hanya tertawa membuatnya semakin kesal. Bela lantas segera beranjak mengejar Dave.

"DAVE TUNGGU!" teriaknya berusaha mengalahkan suara hujan yang cukup deras.

Tapi Dave seperti tidak mendengar, terus berjalan dengan langkah lebar. Pria itu bahkan menerobos hujan dan tidak peduli kemejanya yang sudah kuyup. Bela lantas mempercepat langkah berusaha mengejarnya.

"Dave kali ini tolong dengarkan aku!" teriaknya setelah berhasil sampai di belakang pria itu. "Pasien itu yang tiba-tiba memeluk ku," Dave terus berjalan tidak peduli Bela susah payah berjalan di pelataran RS yang licin dengan sepatu haknya. Dia hampir kepleset beberapa kali.

"Bukan aku yang—DAVE!!" teriaknya sudah tidak tahan. "APA KAMU BENAR-BENAR TIDAK MAU MENDENGARKAN?!" Dave menghentikan langkah sebelum berbalik tanpa mengubah ekspresi kesalnya.

"Pantas saja kamu merasa dikhianati semua orang!" tatapan pria itu semakin tajam.

"Kalau kamu hanya percaya dengan apa yang kamu lihat tanpa mendengarkan penjelasan, kamu tidak akan tahu kebenarannya!" Bela mengerjap beberapa kali menahan rintik hujan yang terasa menusuk mata. Tapi Dave tidak mengendurkan tatapan sama sekali.

"Aku. Tidak. Dengan. Sengaja. Memeluknya." Bela menekan setiap kata yang diucapkannya. "Itu untuk penjelasan yang tadi." Dave masih diam. Kali ini ekspresinya berubah datar.

"Dan—untuk penjelasan atas apa yang sudah aku lakukan—sejak awal aku juga menentang tugas itu. Menyembuhkan kamu dengan pura-pura menjadi kekasih kamu. Aku juga berpikir itu tidak masuk akal. Tapi aku tidak punya pilihan Dave. Karena professorku menjadikan itu tugas akhir untuk gelar doktor-ku." Bela menyeka air hujan di mulut sebelum melanjutkan.

"Awalnya aku pikir aku bisa melakukannya tanpa melibatkan perasaan. Tapi—tapi kamu membuat aku menginginkan lebih. Kamu yang ada saat aku benar-benar butuh seseorang—membuat aku lebih menyadari kehadiran kamu." Bela mengalihkan pandangan sambil berusaha menyusun kata-kata yang tepat.

My lovely PATIENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang